Oleh Anwari WMK
Tanpa partai politik mustahil demokrasi bisa diwujudkan menjadi realitas kongkret, demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, demokrasi merupakan life system yang mendasari tegaknya keadilan. Inilah aksioma yang hampir tak terbantahkan, berlaku dari dulu hingga kini. Partai politik, dengan demikian, hadir sebagai instrumen untuk menghimpun kekuatan massa yang secara asertif berdiri tegak di garda depan perjuangan mewujudkan demokrasi. Imperatif keberadaan partai politik semaca ini analog dengan keberadaan korporasi dalam perekonomian. Tanpa korporasi, mustahil daya saing perekonomian mampu dikonstruksikan menjadi kenyataan. Jika korporasi merupakan anasir penting terwujudnya daya saing ekonomi, partai politik merupakan aspek fundamental terwujudnya demokrasi. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya mengapa di negara-negara otoriter, sistem politik berpijak pada prinsip single party. Hanya di negara-negara demokratislah benar-benar lahir dan berkembang sistem multipartai.
Dengan logika semacam itu, tampak jelas betapa sesungguhnya sangatlah penting dan strategis keberadaan partai politik. Melalui kelembagaan partai politik itulah, putera-puteri terbaik di kalangan anak-anak bangsa (the good sons and daughters of tha land) mengabdikan dirinya secara bersama, demi mewujudkan demokrasi. Sungguh mulia anak-anak bangsa yang rela menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mengelola partai politik. Pada titik ini tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa mengabdi untuk membesarkan partai politik merupakan panggilan kebangsaan. Berbagai konsekuensi dalam hal pengelolaan partai politik hingga berujung pada tercapainya kekuasaan di parlemen atau di pemerintahan, semuanya bertitik tolak dari panggilan kebangsaan. Itulah mengapa, bagi setiap tokoh partai, jabatan-jabatan politik bukanlah mata pencaharian. Pada setiap jabatan politik termaktub panggilan kebangsaan.
Tapi aneh bin ajaib, semua hal yang baru saja dikemukakan merupakan sesuatu yang indah di atas kertas. Pada prakteknya di belantara politik, tokoh-tokoh politik tak lebih hanyalah “sekawanan burung hering pemakan bangkai”. Dalam realitas hidup yang sangat kongkret, tokoh-tokoh politik yang berafiliasi dengan partai-partai politik tak lebih hanyalah monster yang begitu ambisius memburu kekuasaan—hampir tanpa titik jedah. Dan setelah kekuasaan benar-benar diraih, praksis politik disterilisasi sepenuhnya dari keniscayaan mewujudkan kedaulatan rakyat. Politik sebagai panggilan kebangsaan pun lantas berhenti sekadar sebagai kata-kata kosong tanpa makna. Pelan tapi pasti, masyarakat merasakan secara sangat kongkret sesuatu yang teramat ganjil. Betapa sesungguhnya, tokoh-tokoh partai yang berhasil meraih kekuasaan itu teralienasi dari amanat penderitaan rakyat.
Pada titik persoalan ini, Indonesia sebagai bangsa benar-benar dibenturkan dengan masalah hipokritas atau kemunafikan partai politik dalam demokrasi. Baik sebagai latar depan maupun sebagai latar belakang, hipokritas merupakan trase bagi partai politik di Indonesia untuk meluluhlantakkan dirinya sendiri. Hipokritas telah menghantarkan pengelolaan partai politik Indonesia—pada kurun waktu kontemporer—untuk mengingkari kesejatian dirinya sendiri. Hipokritas telah menggerus makna partai politik sebagai pilar penting tegaknya demokrasi. Rontoknya partai-partai politik dalam perolehan suara pada pemilu legislatif 9 April 2009, sedikit banyaknya harus disimak sebagai konsekuensi logis dari berkecamuknya hipokritas partai politik dalam demokrasi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hipokritas itu dimengerti hakikatnya?
Pertama, hipokritas partai politik dalam demokrasi dapat disimak dari peran dan fungsi partai politik. Dalam konteks ini, peran dan fungsi partai politik diciutkan secara dramatis untuk sekadar menjadi biduk dan atau wahana perburuan kekuasaan. Tatkala kenyataan buruk semacam ini kian menguat menjadi habitus, maka “logis” manakala partai politik bermetamorfosis menjadi wahana dagang sapi kekuasaan. Apa boleh buat, dengan nada getir harus dikatakan, bahwa partai di Indonesia gagal mengusung cita-cita politik menuju terwujudnya kemaslahatan kolektif. Dalam penghadapannya dengan masyarakat, partai politik malah menjadi bagian dari karut marut pemerintahan.
Kedua, hipokritas partai politik dalam demokrasi berjalin kelindan dengan tindakan destruktif kalangan partai politik. Apa yang penting kita catat sebagai sesuatu yang buruk adalah ini: Partai politik mengembangkan mekanisme pertahanan diri berupa pengingkaran dan pengabaian terhadap janji-janji politik. Padahal, janji-janji politik itu semula dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat. Apa yang diucapkan sebagai janji politik selama musim kampanye pemilu, misalnya, hampir pasti tak disertai oleh dasar-dasar moralitas untuk dipenuhi melalui kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Janji politik selama musim kampanye pemilu dikemukakan semata demi meraup sebanyak mungkin dukungan suara dari rakyat. Inilah hipokritas yang mengambil titik tolak dari perlucutan asas resiprokalitas terhadap rakyat yang telah terlibat aktif dalam cash the ballot di bilik-bilik suara di hari pemilu.
Ketiga, partai politik merupakan liabilitas tatkala muncul tuntutan agar partai politik melakukan pembaruan politik secara mendasar. Dengan pembaruan politik, Indonesia menelaah secara kritis peran dan kedudukannya berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Muncul urgensi agar partai politik memerhatikan secara sungguh-sungguh kebertekuk lututan Indonesia berhadapan dengan negara-negara lain. Segenap realitas yang melingkupi seluruh aras hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga—seperti Singapura dan Malaysia—sedemikian rupa memosisikan Indonesia sebagi underdog. Pada era Orde Baru, Indonesia memang dihormati sebagai the big brother di Asia Tenggara. Namun setelah itu, Indonesia dilecehkan oleh negara yang lebih kecil seperti Singapura dan Malaysia. Meminjam frase yang secara sengak sering diucapkan Amien Rais, Indonesia pada akhirnya menjadi salah satu provinsi bagi Singapura. Realitas ini merupakan akibat logis dari pergeseran posisi partai dari aset menjadi liabilitas, atau dari berkah menjadi beban. Partai politik gagal mengembangkan cetak biru politik bebas aktif—sebagaimana termaktub dalam konstitusi—yang relevan dengan perkembangan abad XXI.
Keempat, hipokritas partai politik mengambil titik tolak dari pragmatisme yang begitu telanjang demi memenangi sengitnya pertarungan politik. Dalam pemilu presiden 8 Juli 2009, pimpinan partai-partai politik membebaskan kadernya memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mana pun. Terutama bagi partai yang tak mengusung capres-cawapres sendiri—seperti PAN, PBB dan PPP—arahan pimpinan partai-partai politik merupakan sebuah ambigu. Arahan ini bertolak belakang dengan opsi dewan pimpinan pusat partai yang telah menetapkan memilih capres dan cawapres tertentu. Hipokritas dalam konteks ini ditandai oleh timbulnya kontradiksi antara sikap resmi partai di satu pihak, dan pilihan bebas kader partai di lain pihak.
Jika hipokritas yang dibentangkan di atas berlarut-larut, maka sempurnalah partai politik sebagai kawah candradimuka lahirnya politisi-politisi tak berkarakter. Jika situasi tersebut tak terkoreksikan secara total, maka ke depan, partai politik bermetamorfosis menjadi “mesin” yang hanya melahirkan politikus plintat-plintut. Sudah saatnya, perjalanan demokrasi bangsa ini dilengkapi oleh upaya falsifikasi secara kritis terhadap keberadaan partai politik. Sudah saatnya kita mengembangkan pesimisme konstruktif terhadap eksistensi partai-partai politik. Bangsa ini terlalu bermakna jika diposisikan sebagai tumbal pengelolaan partai politik yang ugal-ugalan.
Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 130, 2009.
Tanpa partai politik mustahil demokrasi bisa diwujudkan menjadi realitas kongkret, demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, demokrasi merupakan life system yang mendasari tegaknya keadilan. Inilah aksioma yang hampir tak terbantahkan, berlaku dari dulu hingga kini. Partai politik, dengan demikian, hadir sebagai instrumen untuk menghimpun kekuatan massa yang secara asertif berdiri tegak di garda depan perjuangan mewujudkan demokrasi. Imperatif keberadaan partai politik semaca ini analog dengan keberadaan korporasi dalam perekonomian. Tanpa korporasi, mustahil daya saing perekonomian mampu dikonstruksikan menjadi kenyataan. Jika korporasi merupakan anasir penting terwujudnya daya saing ekonomi, partai politik merupakan aspek fundamental terwujudnya demokrasi. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya mengapa di negara-negara otoriter, sistem politik berpijak pada prinsip single party. Hanya di negara-negara demokratislah benar-benar lahir dan berkembang sistem multipartai.
Dengan logika semacam itu, tampak jelas betapa sesungguhnya sangatlah penting dan strategis keberadaan partai politik. Melalui kelembagaan partai politik itulah, putera-puteri terbaik di kalangan anak-anak bangsa (the good sons and daughters of tha land) mengabdikan dirinya secara bersama, demi mewujudkan demokrasi. Sungguh mulia anak-anak bangsa yang rela menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mengelola partai politik. Pada titik ini tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa mengabdi untuk membesarkan partai politik merupakan panggilan kebangsaan. Berbagai konsekuensi dalam hal pengelolaan partai politik hingga berujung pada tercapainya kekuasaan di parlemen atau di pemerintahan, semuanya bertitik tolak dari panggilan kebangsaan. Itulah mengapa, bagi setiap tokoh partai, jabatan-jabatan politik bukanlah mata pencaharian. Pada setiap jabatan politik termaktub panggilan kebangsaan.
Tapi aneh bin ajaib, semua hal yang baru saja dikemukakan merupakan sesuatu yang indah di atas kertas. Pada prakteknya di belantara politik, tokoh-tokoh politik tak lebih hanyalah “sekawanan burung hering pemakan bangkai”. Dalam realitas hidup yang sangat kongkret, tokoh-tokoh politik yang berafiliasi dengan partai-partai politik tak lebih hanyalah monster yang begitu ambisius memburu kekuasaan—hampir tanpa titik jedah. Dan setelah kekuasaan benar-benar diraih, praksis politik disterilisasi sepenuhnya dari keniscayaan mewujudkan kedaulatan rakyat. Politik sebagai panggilan kebangsaan pun lantas berhenti sekadar sebagai kata-kata kosong tanpa makna. Pelan tapi pasti, masyarakat merasakan secara sangat kongkret sesuatu yang teramat ganjil. Betapa sesungguhnya, tokoh-tokoh partai yang berhasil meraih kekuasaan itu teralienasi dari amanat penderitaan rakyat.
Pada titik persoalan ini, Indonesia sebagai bangsa benar-benar dibenturkan dengan masalah hipokritas atau kemunafikan partai politik dalam demokrasi. Baik sebagai latar depan maupun sebagai latar belakang, hipokritas merupakan trase bagi partai politik di Indonesia untuk meluluhlantakkan dirinya sendiri. Hipokritas telah menghantarkan pengelolaan partai politik Indonesia—pada kurun waktu kontemporer—untuk mengingkari kesejatian dirinya sendiri. Hipokritas telah menggerus makna partai politik sebagai pilar penting tegaknya demokrasi. Rontoknya partai-partai politik dalam perolehan suara pada pemilu legislatif 9 April 2009, sedikit banyaknya harus disimak sebagai konsekuensi logis dari berkecamuknya hipokritas partai politik dalam demokrasi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hipokritas itu dimengerti hakikatnya?
Pertama, hipokritas partai politik dalam demokrasi dapat disimak dari peran dan fungsi partai politik. Dalam konteks ini, peran dan fungsi partai politik diciutkan secara dramatis untuk sekadar menjadi biduk dan atau wahana perburuan kekuasaan. Tatkala kenyataan buruk semacam ini kian menguat menjadi habitus, maka “logis” manakala partai politik bermetamorfosis menjadi wahana dagang sapi kekuasaan. Apa boleh buat, dengan nada getir harus dikatakan, bahwa partai di Indonesia gagal mengusung cita-cita politik menuju terwujudnya kemaslahatan kolektif. Dalam penghadapannya dengan masyarakat, partai politik malah menjadi bagian dari karut marut pemerintahan.
Kedua, hipokritas partai politik dalam demokrasi berjalin kelindan dengan tindakan destruktif kalangan partai politik. Apa yang penting kita catat sebagai sesuatu yang buruk adalah ini: Partai politik mengembangkan mekanisme pertahanan diri berupa pengingkaran dan pengabaian terhadap janji-janji politik. Padahal, janji-janji politik itu semula dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat. Apa yang diucapkan sebagai janji politik selama musim kampanye pemilu, misalnya, hampir pasti tak disertai oleh dasar-dasar moralitas untuk dipenuhi melalui kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Janji politik selama musim kampanye pemilu dikemukakan semata demi meraup sebanyak mungkin dukungan suara dari rakyat. Inilah hipokritas yang mengambil titik tolak dari perlucutan asas resiprokalitas terhadap rakyat yang telah terlibat aktif dalam cash the ballot di bilik-bilik suara di hari pemilu.
Ketiga, partai politik merupakan liabilitas tatkala muncul tuntutan agar partai politik melakukan pembaruan politik secara mendasar. Dengan pembaruan politik, Indonesia menelaah secara kritis peran dan kedudukannya berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Muncul urgensi agar partai politik memerhatikan secara sungguh-sungguh kebertekuk lututan Indonesia berhadapan dengan negara-negara lain. Segenap realitas yang melingkupi seluruh aras hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga—seperti Singapura dan Malaysia—sedemikian rupa memosisikan Indonesia sebagi underdog. Pada era Orde Baru, Indonesia memang dihormati sebagai the big brother di Asia Tenggara. Namun setelah itu, Indonesia dilecehkan oleh negara yang lebih kecil seperti Singapura dan Malaysia. Meminjam frase yang secara sengak sering diucapkan Amien Rais, Indonesia pada akhirnya menjadi salah satu provinsi bagi Singapura. Realitas ini merupakan akibat logis dari pergeseran posisi partai dari aset menjadi liabilitas, atau dari berkah menjadi beban. Partai politik gagal mengembangkan cetak biru politik bebas aktif—sebagaimana termaktub dalam konstitusi—yang relevan dengan perkembangan abad XXI.
Keempat, hipokritas partai politik mengambil titik tolak dari pragmatisme yang begitu telanjang demi memenangi sengitnya pertarungan politik. Dalam pemilu presiden 8 Juli 2009, pimpinan partai-partai politik membebaskan kadernya memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mana pun. Terutama bagi partai yang tak mengusung capres-cawapres sendiri—seperti PAN, PBB dan PPP—arahan pimpinan partai-partai politik merupakan sebuah ambigu. Arahan ini bertolak belakang dengan opsi dewan pimpinan pusat partai yang telah menetapkan memilih capres dan cawapres tertentu. Hipokritas dalam konteks ini ditandai oleh timbulnya kontradiksi antara sikap resmi partai di satu pihak, dan pilihan bebas kader partai di lain pihak.
Jika hipokritas yang dibentangkan di atas berlarut-larut, maka sempurnalah partai politik sebagai kawah candradimuka lahirnya politisi-politisi tak berkarakter. Jika situasi tersebut tak terkoreksikan secara total, maka ke depan, partai politik bermetamorfosis menjadi “mesin” yang hanya melahirkan politikus plintat-plintut. Sudah saatnya, perjalanan demokrasi bangsa ini dilengkapi oleh upaya falsifikasi secara kritis terhadap keberadaan partai politik. Sudah saatnya kita mengembangkan pesimisme konstruktif terhadap eksistensi partai-partai politik. Bangsa ini terlalu bermakna jika diposisikan sebagai tumbal pengelolaan partai politik yang ugal-ugalan.
Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 130, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar