Pada tahun 1956, pertarungan politik dan gagasan di Indonesia mengarah kepada satu kesimpulan: demokrasi liberal harus segera diakhiri. Bung Karno, yang sejak awal menyatakan ketidaksukaannya terhadap model demokrasi ini, semakin menegaskan sikapnya dalam sebuah pidato di hadapan Majelis Konstituante.
Kepada para calon pembuat konstitusi baru itu, Bung Karno telah menganjurkan agar konstitusi baru disusun berdasarkan realitas yang hidup di Indonesia. “Jangan meniru atau menyadur konstitusi orang lain,” kata Bung Karno. Ia menyerukan agar Konstituante membuat konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
>>>
Di tengah-tengah pidato itu, Bung Karno mengajak anggota Konstituante merenungkan arti kata Republik. Pasalnya, banyak yang memahami republik dari bentuk luarnya saja, tetapi belum memahami isinya.
Istilah “Republik”, kata Bung Karno, berasal dari kata “Res Publica”, yang berarti kepentingan umum. Ia merupakan negasi dari bentuk negara yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan satu individu ataupun kepentingan satu klas.
Sekalipun banyak negara yang menganut sistim republik, kata Soekarno, tetapi mereka tidak konsisten menerapkan makna “kepentingan umum” itu. Lagi-lagi Bung Karno merujuk ke eropa. Di sana, katanya, mereka ber-res-publica hanya di lapangan politik saja, tetapi tidak melakukannya di lapangan ekonomi.
“Kekuasaan ekonomi tidak mau mereka akui sebagai hak bersama. Jangankan di dalam praktek, di dalam teori pun tidak,” kata Bung Karno.
Demikian pula dengan lapangan sosial dan budaya, terkadang res-publica juga tidak menyentuh wilayah ini. Sehingga pintu kehidupan sosial dan kebudayaan sering terutup bagi mereka yang tidak berkuasa.
Tetapi gagasan Republiken ala Bung Karno jelas berbeda dengan gagasan Republiken yang diadopsi oleh sebuah Partai Sarekat Rakyat Independen (SRI). Rocky Gerung, seorang ideolog partai SRI, mengidentifikasi republikanisme sebagai pengaktifan warga negara dalam kehidupan politik, dimana warga negara bukan penerima pasif. Ide republikanisme ala SRI adalah mirip dengan res-publica yang dikritik habis-habisan oleh Bung Karno, yaitu res publica yang hanya diselenggarakan di lapangan politik.
Melihat uraian Bung Karno itu, kita melihat adanya konsistensi dalam teori-teori dan keinginan-keinginan politiknya: ketika menyampaikan pidato 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila), Soekarno dengan tegas mengatakan Indonesia merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Dan melalui pidato itu, Bung Karno kembali menegaskan bahwa Indonesia merdeka bukanlah negara untuk satu golongan, bukan pula negara borjuis, melainkan sebuah negara yang dimiliki seluruh rakyat. “Maka res-publica pun dijalankan di semua lapangan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya”. “Harus menjadi republiken 100%,” begitu kata Bung Karno.
Sayang sekali, Konstituante gagal menghasilkan konstitusi baru.
Akhirnya, pada 22 April 1959, melalui pidato berjudul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”, Soekarno telah mengajak untuk kembali ke UUD 1945. Lalu pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit. Maka bubarlah Konstituante itu dan bangsa Indonesia pun kembali ke UUD 1945.
>>>
Tetapi, untuk mencapai cita-cita res-publica yang dimimpikan Soekarno, ia perlu faktor pendukung: lingkungan politik yang stabil, persatuan nasional yang kuat, dan semangat rakyat yang berjuang.
Tetapi demokrasi liberal telah menjadi halangan untuk itu. Pertama, demokrasi parlementer menyebabkan pemerintahan tidak stabil, sehingga pemerintahan tidak bisa bekerja secara maksimal.
Sejak penerapan demokrasi parlementer, terhitung ada tujuh kali pergantian kabinet: Natsir (1950-1951), Sukiman, 10 bulan (April 1951-Februari 1952), Wilopo 14 bulan (April 1952-Juni 1953), Ali Sastroamidjojo 24 bulan (Juli 1953-Juli 1955), Burhanuddin Harahap 7 bulan (Agustus 1955-Maret 1956), lalu kembali Ali Sastroamidjojo 12 bulan (Maret 1956-Maret 1957).
Kedua, demokrasi parlementer membawa bangsa Indonesia yang masih muda ke dalam sebuah krisis; friksi antar partai politik, saling jegal antar golongan politik, menurunnya semangat juang, dan lain sebagainya.
Hal itu, dalam bayangan Bung Karno, sangat terang melemahkan persatuan nasional. Padahal, di satu sisi, masih ada tugas nasional yang belum selesai, yaitu menghancurkan sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme.
Ketiga, Demokrasi itu juga dianggap oleh Bung Karno telah meracuni rakyat: munculnya ego-sentrisme. Ego-sentrisme telah memicu gerakan separatism di daerah, baik yang bersifat kedaerahan maupun keagamaan.
Bagi sebagian pengamat politik, seperti Ignas Kleden, pengalaman demokrasi parlementer memberikan pencapaian positif: perdebatan yang tekun dan bermutu tinggi telah membuka jalan ke arah konstitusionalisme, sebagai suatu cita-cita yang hendak dijadikan tradisi dalam masyarakat baru.
Bung Karno sangat tegas menolak demokrasi liberal ataupun ‘diktatur’.
Demokrasi liberal, seperti berulang-ulang dikatakannya, hanya mengejar persamaan di lapangan politik, tetapi mengabaikan persamaan sosial atau ekonomi.
“Seperti juga dalam perdagangan, jika kesempatan yang sama itu tidak dibarengi dengan kemampuan yang sama, maka golongan yang lemah akan tertindas oleh golongan yang kuat,” ujarnya Soekarno, seraya menyakinkan anggota konstituante.
Oleh karena itu, muncul ide Soekarno untuk mendesakkan sebuah tipe demokrasi yang terbimbing atau terpimpin, yakni sebuah demokrasi mencegah terjadinya eksploitasi oleh si kuat terhadap si lemah.
Tetapi perlu dicatat, terkait penerapan model demokrasi terpimpin itu, Soekarno menggaris-bawahi bahwa hal itu hanya dilakukan dalam masa transisi. Transisi yang dimaksud adalah peralihan dari alam kolonialisme ke nasional; peralihan dari perbudakan ke alam kemerdekaan politis-ekonomis.
Periode transisi sendiri akan berakhir pada satu titik: saat dimana emansipasi ekonomi dan sosial sudah merata.
Tetapi, dimata banyak pengamat politik, demokrasi terpimpin dianggap menciptakan benih otoritarianisme; ada pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi, ada pula pelarangan terhadap karya-karya seniman yang tak sejalan dengan pemerintah, ada pembredelan sejumlah surat kabar.
Tetapi, perlu dicatat di sini, bahwa “pelarangan” tidak berarti penghancuran secara fisik terhadap partai atau kegiatan politik dimaksud. Kita jangan membayangkan “pelarangan” di sini seperti ketika Soeharto melarang PKI dan ajarannya. Soe Hok Gie, yang aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis—dekat dengan PSI, masih beraktivitas dan aktif berhubungan dengan orang-orang PSI.
Soekarno sendiri menolak menjadi diktatur, sekalipun kesempatan itu berkali-kali datang kepadanya. Pada tanggal 17 Oktober 1952, misalnya, ketika militer melancarkan kudeta dan memintanya membubarkan parlemen, Soekarno menjawab, “Bapak tidak mau berbuat dan dikatakan sebagai diktator.”
*) Staff Redaksi Berdikari Online dan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar