In Politik, Historia on June 18, 2012 at 4:55 AM
PENEMPATAN Liem Soei Liong oleh Presiden Soeharto di tempat istimewa –bukan hanya meng-atas-i Pertamina seperti di Pakanbaru, tetapi juga dalam berbagai hal lainnya– dari hari ke hari menjadi sesuatu yang semakin lazim. Seringkali, secara diam-diam maupun terbuka, menjadi suatu kenyataan yang tidak mengenakkan hati orang-orang sekitar Soeharto sendiri. Liem Soei Liong lebih gampang bertemu Soeharto, setiap saat, dibanding misalnya dengan sejumlah menteri kabinet. Akses Liem ke istana jauh lebih istimewa. Letnan Jenderal Sarwo Edhie, saat menjadi Ketua BP7 Pusat, pernah menumpahkan kekesalannya kepada beberapa Manggala BP-7, usai suatu acara silaturahmi –open house– saat lebaran di Cendana. “Kita harus antri masuk Cendana untuk menyalami pak Harto”, ujarnya. “Tapi, Liem dan kawan-kawan diberi jalan masuk khusus tersendiri ke dalam…..”. Dengan demikian, Jenderal Sarwo Edhie menjadi jenderal ketiga yang nesu terhadap keistimewaan Liem Soei Liong di sisi kekuasaan Soeharto.
Kelompok nesu saat itu adalah langka. Dalam realita sehari-hari dalam jalannya kekuasaan Presiden Soeharto, pada umumnya para jenderal teras dalam kekuasaan Soeharto tak mungkin nesu kepada Liem Soei Liong. Sang taipan –pasti dengan sepengetahuan Soeharto– berfungsi menjadi pundi-pundi uang guna memenuhi kebutuhan tokoh-tokoh kunci dalam kekuasaan. Hampir semua jenderal penting –bukan rahasia lagi– pernah mendapat hadiah rumah nyaman lengkap dengan isinya dari Liem Soei Liong, serta berbagai kemudahan finansial lainnya. Kebiasaan memberi hadiah rumah ini dilanjutkan putera-putera Liem terhadap jenderal-jenderal penting baru berikutnya dalam rezim. Makanya, menjadi sesuatu yang menarik bila kelak di kemudian hari, dalam kerusuhan Mei 1998, rumah Liem Soei Liong di daerah Gunung Sahari Jakarta, bobol oleh pembakaran dan penjarahan. Di mana perlindungan fisik para jenderal? Peristiwa itu, setidaknya ikut menjadi indikasi betapa dukungan ABRI terhadap Soeharto memang sudah sangat goyah per saat itu. Ada yang tiarap, sementara yang lain mendua-hati.
Jurang sosial dan isu pri-non pri. Liem memang tak tertandingi siapa pun, bila itu menyangkut Jenderal Soeharto. Terutama dalam kaitan bisnis dengan fasilitas kekuasaan dan pemerintahan. Namun, pada sekitar pertengahan 1980-an, tatkala putera-puteri Soeharto makin dewasa dan mulai terjun ke dalam bisnis, toh Liem Soei Liong sedikit mulai terdorong ke posisi kedua dalam hal penanganan proyek-proyek pemerintah. Perusahaan-perusahaan putera-puteri Presiden lebih berjaya untuk soal yang satu ini. Mungkin itu sebabnya juga, mengapa Liem Soei Liong memilih untuk mengembangkan sayap bisnis ke luar Indonesia, sebagai cadangan, terutama ke negeri leluhurnya di daratan China. Kelompok bisnis Liem menanam sejumlah investasi besar di China. Dulu ia datang ke Indonesia dengan celana pendek –sebagai simbol kemiskinan yang diberikan negeri asalnya– dan setelah beberapa dasawarsa, akhirnya ia ‘datang’ kembali ke negeri leluhur mempersembahkan buah kekayaan berlipat ganda yang telah diperolehnya di Indonesia.
Salah seorang putera Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dalam suatu makan siang saat jedah penataran P-4 di BP-7 Pejambon, pernah menyampaikan cetusan ‘idealisme’nya –sebut saja demikian– kepada beberapa Manggala, tentang masalah Pri-Non Pri dalam dunia usaha. “Kalau kita bisa, kenapa harus mereka saja”, demikian kurang lebih kata Bambang. Tepatnya, ia mengajak menggalang kebersamaan agar pengusaha pribumi bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukan kelompok non pribumi, sebagaimana yang bisa disaksikannya dari dekat sebagai kenyataan sehari-hari dalam masa kekuasaan ayahandanya.
Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa di kemudian hari, ketika sejumlah pengusaha pribumi berhasil mengambil peran dan ikut menguasai sebagian porsi rezeki pembangunan, perbuatan dan perilaku mereka pun tak berbeda jauh. Bahkan, sikap konsumtif yang mereka tularkan dalam hal tertentu bisa lebih dahsyat. Perilaku kebanyakan dari mereka, sama tak bertanggungjawabnya, termasuk dalam menyuburkan kolusi, suap menyuap, intrik kekuasaan dan korupsi, serta pengemplangan pajak. Bila sebelumnya jurang sosial dan ekonomi lebih diidentikkan sebagai gap pri-nonpri, kini sepenuhnya menjadi jurang sosial-ekonomi kaya-miskin intra bangsa. Lebih celaka lagi, gap itu menular merasuki seluruh sektor kehidupan bangsa, tak terkecuali dalam kehidupan politik. Penguasaan akumulasi uang –yang umumnya diperoleh melalui jalan tidak halal– menjadi faktor penentu dalam kedudukan-kedudukan politik, melebih faktor lain: hati nurani, kecerdasan, etika, etos kerja, pengabdian masyarakat dan niat baik untuk bangsa.
PADA bulan-bulan awal tahun 1971 di tengah-tengah kesibukan menjelang pemilihan umum, sejumlah nama warga keturunan di Indonesia mencuat sepak terjangnya melalui sebuah artikel di Bangkok Post yang terbit di ibukota Thailand, ditulis oleh Frank Hawkins wartawan Associated Press. Beberapa nama pengusaha disebutkan, dalam konteks isu pri-non pri, termasuk Liem Soei Liong (Sudono Salim), selain Yap Swie Kie (Sutopo Yananto), Go Swie Kie dan Liem Haryanto. Go Swie Kie dihubungan namanya dengan Bulog, sementara Liem Soei Liong terutama dikaitkan dengan Soeharto. Artikel itu mendapat sambutan oleh pers tanah air seperti Harian Nusantara, Harian Pedoman, Harian KAMI, Harian Angkatan Bersenjata yang terbit di ibukota serta Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung. Sorotan-sorotan yang dilancarkan media pers nasional itu, senantiasa mendapat jawaban dan reaksi para cukong tersebut yang disalurkan terutama melalui sebuah harian ibukota yang dipimpin oleh tokoh pers BM Diah, Harian Merdeka. Sehingga terjadilah apa yang diistilahkan Mingguan Mahasiswa Indonesia sebagai ‘perang percukongan Indonesia’.
‘Perang percukongan’ ini pecah setelah kekecewaan menumpuk oleh kegagalan berbagai upaya pemberantasan korupsi pada tahun 1970. Sepanjang tahun 1970 yang mengecewakan itu, terlihat betapa Komisi IV yang dibentuk untuk memerangi korupsi, ternyata memang betul-betul hanyalah macan ompong. Terlihat pula bahwa kekuatan kelompok korupsi dan kekuasaan mematahkan –mungkin lebih tepatnya tidak mengacuhkan– kritik-kritik dan gerakan anti korupsi yang dilancarkan generasi muda, terutama mahasiswa, kala itu.
Rangsangan pertama masalah percukongan, menurut buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ terjadi tatkala satu titik sensitif teraba oleh Frank Hawkins dengan menghubung-hubungkan dua unsur ‘tenar’ Indonesia, yakni pengusaha-pengusaha keturunan China yang sering dijuluki cukong dengan kalangan tertentu di tubuh militer yang ada pada deretan para jenderal. “Penguasa tertentu telah bersatu kepentingan dengan china-china tertentu yang selama ini kita sebut cukong-cukong china”, tulis salah satu pers Indonesia itu. Nyoo Han Siang, satu diantara para cukong itu, yang oleh Frank Hawkins disebut sebagai ‘perwira’ yang memimpin logistik Opsus, mendapat sorotan lanjut pers Indonesia.
Ditanya mengenai persobatannya dengan para Jenderal, Nyoo menjawab santai “Usaha memelihara hubungan ini termasuk sebagai unsur penting bagi para pengusaha”. Tentang percukongan, dengan cerdik ia menjawab “Ah, terlalu dibesar-besarkan. Saya anggap isu-isu ini sangat memerosotkan martabat pejabat-pejabat Indonesia dan juga martabat pemerintah Indonesia di mata rakyat dan di mata luar negeri”. Sebelumnya ia pernah dikutip berpendapat, “Di Indonesia semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan china. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. Maka suatu pendekatan yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan. Ia beranggapan apa yang dikemukakannya itu sebagai suatu hal yang wajar. Sebaliknya ia menolak anggapan kedekatan dengan pejabat sama dengan perlindungan, apalagi suatu sharing kekuasaan. “Mustahil bisa terjadi”. Nyoo merambah berbagai bidang usaha, tidak terkecuali dunia hiburan. Ia memiliki sebuah kelab malam di kawasan airport Kemayoran bernama ‘Golden Gate’ yang berarti ‘gerbang emas’. Memiliki kelab malam kala itu sangat berkegunaan ‘taktis’, karena kelab malam yang lengkap dengan wanita-wanita cantiknya biasanya sangat ampuh dalam upaya memikat dan pendekatan.
Satu perusahaan lain yang paling disorot pers –dan juga kaum kritis lainnya– tak lain adalah pabrik tepung terigu Bogasari di pantai utara Jakarta bersisian dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Letak yang dekat Tanjung Priok ini karena pabrik ini menggunakan bahan baku gandum curah yang didatangkan dari Australia. Kapal-kapal pembawa gandum ini langsung merapat ke dermaga milik pabrik dan mencurahkan langsung gandum-gandum itu ke mulut rangkaian awal produksi. Pers menggambarkan PT Bogasari Flour Mill “milik beberapa orang Indonesia-china, termasuk putera Liem Soei Liong yang baru berusia 25 tahun”. Di sini yang dimaksud agaknya adalah Anthony Salim. Anggaran dasar perusahaan menyatakan bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh harus diserahkan kepada Yayasan Dharma Putra Kostrad, suatu yayasan yang bernaung di bawah Kostrad (Komando Srategis Angkatan Darat). PT Bogasari yang merupakan proyek Liem Soei Liong mendapat fasilitas dan pelayanan kredit sangat istimewa dari Bank Indonesia. Hampir 3 milyar rupiah, padahal menurut penilaian Harian Nusantara saat itu PT Bogasari masih sangat sukar untuk dianggap serius bagi kualifikasi satu usaha yang bonafide.
Pers menggambarkan lebih jauh bahwa dalam akta pendirian Bogasari disebutkan 40 persen sisa keuntungan diperuntukkan bagi Yayasan Harapan Kita. Yayasan itu telah diketahui umum dikemudikan oleh kalangan-kalangan berpengaruh dalam pemerintahan dan pelindungnya adalah Nyonya Tien Soeharto. Berita mengenai pembagian keuntungan 40 persen itu secara formal dibantah oleh pimpinan Yayasan Harapan Kita.
Ketika Gubernur Bank Sentral Radius Prawiro tampil di DPR, muncul tantangan dari komisi keuangan DPR-GR untuk membeberkan keterangan lengkap kepada siapa saja kredit-kredit diberikan. Mereka memberondongkan pertanyaan seperti “Dapatkah Gubernur Bank Sentral menyebutkan klasifikasi berapa persen dari perusahaan swasta itu adalah pribumi dan berapa persen china?”. Dan “Dapatkah Gubernur Bank Sentral membantah pemberian kredit pada Liem Soei Liong dalam proyek PT Bogasari sebesar Rp 2,8 milyar?”. Bilangan milyar kala itu adalah bilangan yang fantastis bagi masyarakat, layaknya bilangan triliunan di masa kini.
Liem Soei Liong saat itu memang sedang menanjak sebagai bintang yang paling disorot. Meskipun sebenarnya, sepak terjangnya kala itu masih tergolong amat ‘kecil’ dibandingkan masa-masa berikutnya, sejak 1975 selama lebih dari 20 tahun hingga saat kejatuhan Soeharto. Ia, pada awal 70-an itu terlibat dengan perdagangan tekstil 1 juta yard dengan pihak militer, serta berbagai bisnis fasilitas dari puluhan perusahaannya seperti PT Waringin dan lainnya. Profil Liem tak luput dibeberkan sampai detail-detail seperti tentang ibunya yang masih bermukim di Fukien daratan China RRC. Bahwa ia hingga tahun 1966 masih menolak kewarganegaraan RI dan mempertahankan kewarganegaraan RRC. Bahwa tahun 50-an ia termasuk tokoh terhormat (VIP) rezim Peking (Beijing) dan bahwa di Fukien ia mendirikan sekolah yang memakai namanya dan tetap dibiayainya selama bertahun-tahun. Kasus tekstil sejuta yard dikabarkan waktu itu akan dipersoalkan dalam salah satu rapat komisi Hankam/LN di DPR-GR. Liem Soei Liong dalam cerita percukongan tergambarkan sebagai orang hebat yang luas hubungannya dengan kalangan penguasa sampai level teratas. Bangkok Post memberi contoh “Perusahaan penerbangan Seulawah, salah satu dari kedua perusahaan penerbangan yang dimiliki oleh Liem Soei Liong, dipimpin oleh Brigjen Sofjar”.
Berlanjut ke Bagian 4
PENEMPATAN Liem Soei Liong oleh Presiden Soeharto di tempat istimewa –bukan hanya meng-atas-i Pertamina seperti di Pakanbaru, tetapi juga dalam berbagai hal lainnya– dari hari ke hari menjadi sesuatu yang semakin lazim. Seringkali, secara diam-diam maupun terbuka, menjadi suatu kenyataan yang tidak mengenakkan hati orang-orang sekitar Soeharto sendiri. Liem Soei Liong lebih gampang bertemu Soeharto, setiap saat, dibanding misalnya dengan sejumlah menteri kabinet. Akses Liem ke istana jauh lebih istimewa. Letnan Jenderal Sarwo Edhie, saat menjadi Ketua BP7 Pusat, pernah menumpahkan kekesalannya kepada beberapa Manggala BP-7, usai suatu acara silaturahmi –open house– saat lebaran di Cendana. “Kita harus antri masuk Cendana untuk menyalami pak Harto”, ujarnya. “Tapi, Liem dan kawan-kawan diberi jalan masuk khusus tersendiri ke dalam…..”. Dengan demikian, Jenderal Sarwo Edhie menjadi jenderal ketiga yang nesu terhadap keistimewaan Liem Soei Liong di sisi kekuasaan Soeharto.
Kelompok nesu saat itu adalah langka. Dalam realita sehari-hari dalam jalannya kekuasaan Presiden Soeharto, pada umumnya para jenderal teras dalam kekuasaan Soeharto tak mungkin nesu kepada Liem Soei Liong. Sang taipan –pasti dengan sepengetahuan Soeharto– berfungsi menjadi pundi-pundi uang guna memenuhi kebutuhan tokoh-tokoh kunci dalam kekuasaan. Hampir semua jenderal penting –bukan rahasia lagi– pernah mendapat hadiah rumah nyaman lengkap dengan isinya dari Liem Soei Liong, serta berbagai kemudahan finansial lainnya. Kebiasaan memberi hadiah rumah ini dilanjutkan putera-putera Liem terhadap jenderal-jenderal penting baru berikutnya dalam rezim. Makanya, menjadi sesuatu yang menarik bila kelak di kemudian hari, dalam kerusuhan Mei 1998, rumah Liem Soei Liong di daerah Gunung Sahari Jakarta, bobol oleh pembakaran dan penjarahan. Di mana perlindungan fisik para jenderal? Peristiwa itu, setidaknya ikut menjadi indikasi betapa dukungan ABRI terhadap Soeharto memang sudah sangat goyah per saat itu. Ada yang tiarap, sementara yang lain mendua-hati.
Jurang sosial dan isu pri-non pri. Liem memang tak tertandingi siapa pun, bila itu menyangkut Jenderal Soeharto. Terutama dalam kaitan bisnis dengan fasilitas kekuasaan dan pemerintahan. Namun, pada sekitar pertengahan 1980-an, tatkala putera-puteri Soeharto makin dewasa dan mulai terjun ke dalam bisnis, toh Liem Soei Liong sedikit mulai terdorong ke posisi kedua dalam hal penanganan proyek-proyek pemerintah. Perusahaan-perusahaan putera-puteri Presiden lebih berjaya untuk soal yang satu ini. Mungkin itu sebabnya juga, mengapa Liem Soei Liong memilih untuk mengembangkan sayap bisnis ke luar Indonesia, sebagai cadangan, terutama ke negeri leluhurnya di daratan China. Kelompok bisnis Liem menanam sejumlah investasi besar di China. Dulu ia datang ke Indonesia dengan celana pendek –sebagai simbol kemiskinan yang diberikan negeri asalnya– dan setelah beberapa dasawarsa, akhirnya ia ‘datang’ kembali ke negeri leluhur mempersembahkan buah kekayaan berlipat ganda yang telah diperolehnya di Indonesia.
Salah seorang putera Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dalam suatu makan siang saat jedah penataran P-4 di BP-7 Pejambon, pernah menyampaikan cetusan ‘idealisme’nya –sebut saja demikian– kepada beberapa Manggala, tentang masalah Pri-Non Pri dalam dunia usaha. “Kalau kita bisa, kenapa harus mereka saja”, demikian kurang lebih kata Bambang. Tepatnya, ia mengajak menggalang kebersamaan agar pengusaha pribumi bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukan kelompok non pribumi, sebagaimana yang bisa disaksikannya dari dekat sebagai kenyataan sehari-hari dalam masa kekuasaan ayahandanya.
Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa di kemudian hari, ketika sejumlah pengusaha pribumi berhasil mengambil peran dan ikut menguasai sebagian porsi rezeki pembangunan, perbuatan dan perilaku mereka pun tak berbeda jauh. Bahkan, sikap konsumtif yang mereka tularkan dalam hal tertentu bisa lebih dahsyat. Perilaku kebanyakan dari mereka, sama tak bertanggungjawabnya, termasuk dalam menyuburkan kolusi, suap menyuap, intrik kekuasaan dan korupsi, serta pengemplangan pajak. Bila sebelumnya jurang sosial dan ekonomi lebih diidentikkan sebagai gap pri-nonpri, kini sepenuhnya menjadi jurang sosial-ekonomi kaya-miskin intra bangsa. Lebih celaka lagi, gap itu menular merasuki seluruh sektor kehidupan bangsa, tak terkecuali dalam kehidupan politik. Penguasaan akumulasi uang –yang umumnya diperoleh melalui jalan tidak halal– menjadi faktor penentu dalam kedudukan-kedudukan politik, melebih faktor lain: hati nurani, kecerdasan, etika, etos kerja, pengabdian masyarakat dan niat baik untuk bangsa.
PADA bulan-bulan awal tahun 1971 di tengah-tengah kesibukan menjelang pemilihan umum, sejumlah nama warga keturunan di Indonesia mencuat sepak terjangnya melalui sebuah artikel di Bangkok Post yang terbit di ibukota Thailand, ditulis oleh Frank Hawkins wartawan Associated Press. Beberapa nama pengusaha disebutkan, dalam konteks isu pri-non pri, termasuk Liem Soei Liong (Sudono Salim), selain Yap Swie Kie (Sutopo Yananto), Go Swie Kie dan Liem Haryanto. Go Swie Kie dihubungan namanya dengan Bulog, sementara Liem Soei Liong terutama dikaitkan dengan Soeharto. Artikel itu mendapat sambutan oleh pers tanah air seperti Harian Nusantara, Harian Pedoman, Harian KAMI, Harian Angkatan Bersenjata yang terbit di ibukota serta Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung. Sorotan-sorotan yang dilancarkan media pers nasional itu, senantiasa mendapat jawaban dan reaksi para cukong tersebut yang disalurkan terutama melalui sebuah harian ibukota yang dipimpin oleh tokoh pers BM Diah, Harian Merdeka. Sehingga terjadilah apa yang diistilahkan Mingguan Mahasiswa Indonesia sebagai ‘perang percukongan Indonesia’.
‘Perang percukongan’ ini pecah setelah kekecewaan menumpuk oleh kegagalan berbagai upaya pemberantasan korupsi pada tahun 1970. Sepanjang tahun 1970 yang mengecewakan itu, terlihat betapa Komisi IV yang dibentuk untuk memerangi korupsi, ternyata memang betul-betul hanyalah macan ompong. Terlihat pula bahwa kekuatan kelompok korupsi dan kekuasaan mematahkan –mungkin lebih tepatnya tidak mengacuhkan– kritik-kritik dan gerakan anti korupsi yang dilancarkan generasi muda, terutama mahasiswa, kala itu.
Rangsangan pertama masalah percukongan, menurut buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ terjadi tatkala satu titik sensitif teraba oleh Frank Hawkins dengan menghubung-hubungkan dua unsur ‘tenar’ Indonesia, yakni pengusaha-pengusaha keturunan China yang sering dijuluki cukong dengan kalangan tertentu di tubuh militer yang ada pada deretan para jenderal. “Penguasa tertentu telah bersatu kepentingan dengan china-china tertentu yang selama ini kita sebut cukong-cukong china”, tulis salah satu pers Indonesia itu. Nyoo Han Siang, satu diantara para cukong itu, yang oleh Frank Hawkins disebut sebagai ‘perwira’ yang memimpin logistik Opsus, mendapat sorotan lanjut pers Indonesia.
Ditanya mengenai persobatannya dengan para Jenderal, Nyoo menjawab santai “Usaha memelihara hubungan ini termasuk sebagai unsur penting bagi para pengusaha”. Tentang percukongan, dengan cerdik ia menjawab “Ah, terlalu dibesar-besarkan. Saya anggap isu-isu ini sangat memerosotkan martabat pejabat-pejabat Indonesia dan juga martabat pemerintah Indonesia di mata rakyat dan di mata luar negeri”. Sebelumnya ia pernah dikutip berpendapat, “Di Indonesia semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan china. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. Maka suatu pendekatan yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan. Ia beranggapan apa yang dikemukakannya itu sebagai suatu hal yang wajar. Sebaliknya ia menolak anggapan kedekatan dengan pejabat sama dengan perlindungan, apalagi suatu sharing kekuasaan. “Mustahil bisa terjadi”. Nyoo merambah berbagai bidang usaha, tidak terkecuali dunia hiburan. Ia memiliki sebuah kelab malam di kawasan airport Kemayoran bernama ‘Golden Gate’ yang berarti ‘gerbang emas’. Memiliki kelab malam kala itu sangat berkegunaan ‘taktis’, karena kelab malam yang lengkap dengan wanita-wanita cantiknya biasanya sangat ampuh dalam upaya memikat dan pendekatan.
Satu perusahaan lain yang paling disorot pers –dan juga kaum kritis lainnya– tak lain adalah pabrik tepung terigu Bogasari di pantai utara Jakarta bersisian dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Letak yang dekat Tanjung Priok ini karena pabrik ini menggunakan bahan baku gandum curah yang didatangkan dari Australia. Kapal-kapal pembawa gandum ini langsung merapat ke dermaga milik pabrik dan mencurahkan langsung gandum-gandum itu ke mulut rangkaian awal produksi. Pers menggambarkan PT Bogasari Flour Mill “milik beberapa orang Indonesia-china, termasuk putera Liem Soei Liong yang baru berusia 25 tahun”. Di sini yang dimaksud agaknya adalah Anthony Salim. Anggaran dasar perusahaan menyatakan bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh harus diserahkan kepada Yayasan Dharma Putra Kostrad, suatu yayasan yang bernaung di bawah Kostrad (Komando Srategis Angkatan Darat). PT Bogasari yang merupakan proyek Liem Soei Liong mendapat fasilitas dan pelayanan kredit sangat istimewa dari Bank Indonesia. Hampir 3 milyar rupiah, padahal menurut penilaian Harian Nusantara saat itu PT Bogasari masih sangat sukar untuk dianggap serius bagi kualifikasi satu usaha yang bonafide.
Pers menggambarkan lebih jauh bahwa dalam akta pendirian Bogasari disebutkan 40 persen sisa keuntungan diperuntukkan bagi Yayasan Harapan Kita. Yayasan itu telah diketahui umum dikemudikan oleh kalangan-kalangan berpengaruh dalam pemerintahan dan pelindungnya adalah Nyonya Tien Soeharto. Berita mengenai pembagian keuntungan 40 persen itu secara formal dibantah oleh pimpinan Yayasan Harapan Kita.
Ketika Gubernur Bank Sentral Radius Prawiro tampil di DPR, muncul tantangan dari komisi keuangan DPR-GR untuk membeberkan keterangan lengkap kepada siapa saja kredit-kredit diberikan. Mereka memberondongkan pertanyaan seperti “Dapatkah Gubernur Bank Sentral menyebutkan klasifikasi berapa persen dari perusahaan swasta itu adalah pribumi dan berapa persen china?”. Dan “Dapatkah Gubernur Bank Sentral membantah pemberian kredit pada Liem Soei Liong dalam proyek PT Bogasari sebesar Rp 2,8 milyar?”. Bilangan milyar kala itu adalah bilangan yang fantastis bagi masyarakat, layaknya bilangan triliunan di masa kini.
Liem Soei Liong saat itu memang sedang menanjak sebagai bintang yang paling disorot. Meskipun sebenarnya, sepak terjangnya kala itu masih tergolong amat ‘kecil’ dibandingkan masa-masa berikutnya, sejak 1975 selama lebih dari 20 tahun hingga saat kejatuhan Soeharto. Ia, pada awal 70-an itu terlibat dengan perdagangan tekstil 1 juta yard dengan pihak militer, serta berbagai bisnis fasilitas dari puluhan perusahaannya seperti PT Waringin dan lainnya. Profil Liem tak luput dibeberkan sampai detail-detail seperti tentang ibunya yang masih bermukim di Fukien daratan China RRC. Bahwa ia hingga tahun 1966 masih menolak kewarganegaraan RI dan mempertahankan kewarganegaraan RRC. Bahwa tahun 50-an ia termasuk tokoh terhormat (VIP) rezim Peking (Beijing) dan bahwa di Fukien ia mendirikan sekolah yang memakai namanya dan tetap dibiayainya selama bertahun-tahun. Kasus tekstil sejuta yard dikabarkan waktu itu akan dipersoalkan dalam salah satu rapat komisi Hankam/LN di DPR-GR. Liem Soei Liong dalam cerita percukongan tergambarkan sebagai orang hebat yang luas hubungannya dengan kalangan penguasa sampai level teratas. Bangkok Post memberi contoh “Perusahaan penerbangan Seulawah, salah satu dari kedua perusahaan penerbangan yang dimiliki oleh Liem Soei Liong, dipimpin oleh Brigjen Sofjar”.
Berlanjut ke Bagian 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar