Bangsa Bugis di Afrika adalah keturunan Syeh Yusuf, ulama dan pejuang
yang berasal dari Sulawesi Selatan yang dibuang pemerintah Belanda ke
negara itu pada abad ke-16.
“Syekh Yusuf adalah keturunan Raja
Bangsa Bugis yang diasingkan pemerintah Belanda ke Afrika yang kemudian
mengajarkan agama Islam sekaligus berjuang membela Afrika dari
penindasan penjajah di negara tersebut.
Lalu, dari hasil perkawinan pengikut Syekh Yusuf inilah berkembang keturunan bangsa Bugis hingga saat ini di Afrika.
Syekh YusufDi
puncak bukit Macassar, Cape Town, Afrika Selatan (Afsel), makam Syekh
Yusuf yang berkubah warna hijau kerap dikunjungi umat Islam, terutama
dari Indonesia. Makam ini jadi titik tolak kisah penyebaran Islam di
Afsel hingga sekarang.
Peziarah yang datang memang tidak setiap
hari, namun rutin setiap bulan. Mereka umumnya ingin tahu lebih banyak
tentang kiprah perjuangan yang dilakukan Syekh Yusuf dalam menyebarkan
Islam.
|
Foto Makam Syekh Yusuf (bagian dalam) |
Di
komplek makam itu, tak banyak kisah yang bisa diperoleh. Hanya ada
satu tonggak monumen yang menjelaskan tentang bagaimana Syekh Yusuf
bisa sampai di Cape Town, Afrika Selatan. Namun versi lisan yang lengkap
bisa diperoleh dari Adam Philander, imam Masjid Nurul Latief, masjid
yang berjarak beberapa meter dari komplek makam Syekh Yusuf.
“Syekh
Yusuf dibuang Belanda karena perlawanannya terhadap Belanda sewaktu di
Banten. Penyebaran agama yang dilakukannya, tidak lepas dari pemahaman
tentang Islam yang diperolehnya dari belajar di banyak tempat.
Pada
usia 18 tahun dia meninggalkan Makasar menuju Banten, setelah itu dia
ke Aceh, dan seterusnya ke Yaman, dan kemudian ke Madinah dan Mekkah,
lalu ke Damaskus, Suriah lalu ke Istanbul, Turki. Setelah 23 tahun
belajar seluruh tempat itu, sosok yang dikenal dengan nama lengkap
Syekh Yusuf Taj al Khalwaty Al Makassary itu kembali ke Makasar pada
tahun 1668 dan pergi ke Banten pada tahun 1671.
Ada catatan yang
menyebut dia langsung ke Banten tak singgah ke Makasar. Di Banten, dia
menikah dengan salah satu anak Sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian anak
sultan, yakni Abdul Kahar melakukan perebutan tahta dengan bantuan
Belanda. Seterusnya sultan ditangkap dan Yusuf bergerilya di Banten.
Selama
masa gerilya itu, dia tetap menyebarkan Islam dan dikenal dengan nama
Maulana Yusuf. Namun akhirnya tertangkap. Seterusnya dia beserta
pengikutnya dibuang ke Srilanka pada 22 Maret 1684, dalam usia 58
tahun. Di sini dia tetap berdakwah, dan juga menulis beberapa buku.
Belanda
kemudian mengasingkannya lagi ke ke tempat yang lebih jauh pada Juli
1693. Dengan menggunakan kapal De Voetboog, Yusuf beserta 49 pengikutnya
dibawa ke Zandvliet, yang sekarang bagian dari wilayah Cape Town,
Afrika Selatan. Tetapi hanya lima tahun di pengasingan ini, dia wafat
pada 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Lalu dimakamkan di kawasan yang
sekarang disebut Macassar, sekitar 35 kilometer dari pusat kota Cape
Town.
Ketika Syekh Yusuf wafat di Cape Town, kabar itu kemudian
disampaikan Belanda kepada keluarga Sultan Banten dan Raja Gowa. Kedua
kerajaan itu meminta agar jenazahnya dikirimkan dari Afrika Selatan,
namun permintaan itu ditolak Belanda. Kemudian pada tahun 1704 Raja Gowa
Abdul Jalil kembali meminta Belanda mengirimkan kerangka jenazah ke
Gowa, dan kali ini disetujui. Ada catatan yang menyebutkan kerangka
jenazah tiba Gowa pada 5 April 1705 dan turut serta juga dalam
perjalanan itu keluarganya selama masa pembuangan.
Ihwal jenazah
yang dikirimkan ke Gowa itu, masih juga diragukan. Keturunan Indonesia
yang berada di Cape Town, tetap yakin jenazahnya masih ada di Cape
Town. Komplek makamnya terus dibina, dan tiga Presiden Indonesia juga
datang ke sini, yakni Presiden Soeharto, Presiden Megawati
Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla.
“Ada beberapa tempat yang diyakini sebagai makam Syekh Yusuf, tapi sesungguhnya makam beliau tetap ada di Afrika.
Terkait
dengan makam yang ada di Gowa, bisa jadi Belanda memang mengirimkan
jenazahnya ke Sulawesi Selatan. Namun bisa jadi juga yang dikirimkan
hanyalah bagian kuku dan rambutnya yang dalam bahasa Bugis disebut
PAMANGKEKAKAN.
Semua spekulasi itu masih ada sampai sekarang,
termasuk spekulasi yang menyebut keberadaan makam Syekh Yusuf di
Srilanka dan Banten. Yang pasti di Macassar, Afrika Selatan, masih ada
makamnya yang bisa menjadi jalan untuk terus mempelajari jejak
perjuangan Syekh Yusuf yang telah diangkat menjadi pahlwan nasional
Indonesia. Semoga jiwa patriotisme beliau dapat menjadi panutan generasi
bangsa Indonsia sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar