Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mengaku siap dibui jika kebijakannya saat menjabat Direktur Utama PT PLN (Persero), yang menimbulkan inefisiensi sebesar Rp 37,6 triliun, dianggap salah. Inefisiensi ini tercatat dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan.
“Kalau keputusan itu salah, saya harus berani menanggung risikonya,” kata Dahlan di kantor Presiden, Jakarta, Kamis, 25 Oktober 2012. “Masuk penjara pun akan saya jalani dengan seikhlas-ikhlasnya.” Menurut Dahlan, menjadi pemimpin tidak boleh mau jabatannya saja, tetapi harus juga mau menanggung risikonya.
Dahlan menjelaskan inefisiensi terjadi karena saat itu PLN tidak mendapatkan pasokan gas seperti yang dijanjikan. “Bahkan, suatu kali jatah gas PLN itu dikurangi dan diberikan kepada industri,” ucapnya.
Kondisi PLN yang tidak mendapatkan jatah gas membuat Dahlan sebagai Direktur Utama dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, memadamkan listrik di Jakarta. Kedua, menggunakan bahan bakar minyak sebagai sumber energi pembangkit listrik. Dahlan pun memilih opsi kedua.
“Begitu enggak dapat gas, enggak bisa diganti batu bara. Harus diganti dengan BBM,” ucap Dahlan. Karena harga BBM lebih mahal dari gas, keputusan ini membuat terjadinya inefisiensi di PLN sebesar triliunan rupiah.
Menurut dia, opsi untuk menggunakan BBM tersebut bukannya tanpa alasan. Sebabnya, tidak mungkin ia memilih opsi untuk mematikan listrik di Jakarta. “Itu padamnya bukan main-main. Padamnya luar biasa luasnya dan tidak hanya satu-dua hari, bisa satu tahun. Mau orang Jakarta tidak punya listrik selama satu tahun?” ujar Dahlan. Ia pun menganggap alasan ini sudah diketahui Komisi Energi DPR RI.