Ilustrasi: Micha Rainer Pali
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
PADA Juni 1948,
untuk kali pertama sejak Indonesia merdeka, Presiden Sukarno berkunjung
ke Sumatra. Pagi 12 Juni, Sukarno berpidato dalam rapat raksasa di
Padang Sidempuan yang dibanjiri rakyat. Hujan tak menghalangi mereka
untuk mendengarkan pidato Sukarno. Bahkan ada yang datang dari Labuhan
Batu (Sumatra Timur-Selatan) dan Pasir Pengarayan (Riau Utara) dengan
berjalan kaki menempuh jarak ratusan kilometer. Sorenya, Sukarno
memberikan kursus politik.
Di kota ini, rakyat mempersembahkan kain Batak (ulos)
kepada Sukarno, berikut seekor kerbau sebagai bentuk penghormatan
terhadap pahlawan. Setelah rampung, Sukarno menuju Sibolga. “Presiden
Sukarno tiba di Tapanuli untuk menggembleng dan mengobarkan semangat
persatupaduan rakyat di Kota Nopan, Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung,
Balige dalam perjalanannya ke Kutaraja. Semua persatuan menjadi
bertambah kuat,” tulis Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Periode Renville.
Malamnya, Sukarno menghadiri upacara persembahan ulos,
sekali lagi sebagai penghormatan kepada pahlawan tanah air yang
berjasa. “Upacara diiringi dengan gendang Batak. Residen Tapanuli
mengucapkan pidato, wakil executief Tapanuli mempersembahkan
kulos tersebut dengan tor-tor (tari) dan menyelimutkannya ke bahu
presiden,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV.
Setelah itu, atas nama rakyat, Sukarno
menerima persembahan hasil bumi Tapanuli seperti kopi dan kemenyan serta
pakaian perang dari rakyat Pulau Nias.
Itulah sepenggal sejarah ketika gendang (gondang) Batak dan tor-tor dimainkan untuk menyambut Presiden Sukarno.
Baru-baru ini, kantor berita Bernama di Malaysia melansir berita bahwa tor-tor dan alat musik gondang sambilan (sembilan
gendang), yang selama ini dimiliki masyarakat Mandailing, Sumatra
Utara, akan diklaim Malaysia. Kantor berita itu mengutip pernyataan
Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Dr Rais
Yatim. Tarian tor-tor akan diresmikan sebagai salah satu cabang warisan
negara dan didaftarkan dalam Seksyen 67 sebagai Akta Warisan Kebangsaan
2005.
Dalam “Tor-Tor sebagai Properti dan Perwujudan Adat,” dimuat jurnal Etnomusikologi,
Vol. 1 No. 2, September 2005, Frida Deliana Harahap mencatat, tor-tor
berbeda dari tari-tari lainnya. Ada landasan falsafah adatnya. Sekalipun
indah, enak dipandang mata, dan menyenangkan hati, tarian adat ini
harus ditampilkan dalam upacara adat. Penampilan tor-tor tak dapat
berjalan tanpa iringan ensambel gondang –yang juga hanya dimainkan dalam upacara adat.
Karena tarian adat, gerakan tor-tor mengandung makna. Misalnya, gerak tangan yang mempunyai tiga bentuk: sombah, tolak bala, dan meminta doa. Sombah artinya
menyembah atau menghormati orang yang lebih tinggi kedudukannya dalam
adat. Tolak bala merupakan simbol untuk menolak bala yang datang dari
luar dan simbol untuk memberikan berkat. Meminta doa dalam bahasa
Angkola (Mandailing) disebut mangido tua sahala, artinya memohon perlindungan kepada Tuhan dan meminta restu kepada mora (keluarga pihak istri), harajaon (kerajaan), hatobangon (tetua adat), dan raja panusuan bulung (seorang yang diangkat sebagai pemimpin adat di lingkungan yang sedang mengadakan pernikahan).
Diyakini, gondang sembilan dan tor-tor sudah ada sejak lima abad lalu. Alat musik gondang sembilan dan
tor-tor digelar bersamaan untuk perayaan, hajatan, dan penyambutan tamu
yang dihormati. Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan para
raja. Selain itu, seperti di wilayah Angkola, Sidempuan, Tapanuli
Selatan, gondang juga ditabuh untuk memberi tahu penduduk
ketika serdadu Belanda datang; masyarakat diminta mengungsi. Bunyi
gondang pula yang meminta masyarakat kembali ke kampung ketika serdadu
Belanda sudah pergi. Suku Mandailing yang bermukim di wilayah Angkola,
Padang Sidempuan, dan Tapanuli Selatan menyebut alat ini gondang dua –sebelumnya gondang tujuh. Perubahan itu karena sempat dilarang pada masa penjajahan. Hanya di Mandailing Natal yang sebutannya tetap sampai sekarang: gondang sembilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar