Selasa, 17 September 2013
BALIKPAPAN, KOMPAS.com — Konvensi Partai Demokrat untuk mencari calon presiden 2014 telah dibuka, Minggu (15/9/2013). Sebelas peserta konvensi pun langsung bergerak menggalang dukungan, termasuk dua jenderal purnawirawan yang ikut bertarung, yaitu Pramono Edhie Wibowo yang juga kader Partai Demokrat dan Endriartono Sutarto dari luar partai.
Tiga kader Demokrat lainnya adalah Hayono Isman, Marzuki Alie, dan Sinyo Harry Sarundajang. Sementara enam lainnya dari luar partai, yaitu Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Gita Wirjawan, dan Irman Gusman.
Edhie, Senin (16/9/2013), langsung memanfaatkan momentum ini untuk mulai memperkenalkan dirinya ke publik. Dia berkunjung ke Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam acara Halalbihalal Akbar dan Syukuran HUT Ke-68 Kemerdekaan RI di Balikpapan, Kalimantan Timur, oleh pemangku adat Dayak, Edhie secara resmi diberi nama adat Madang Lendjou. Penyerahan simbol adat berikut sertifikat pengangkatan nama adat oleh Kepala Adat Dayak Edi Gunawan itu juga disaksikan Gubernur Kaltim H Awang Faroek Ishak dan Pangdam VI/Mulawarman Dicky W Usman.
"Lewat konvensi capres, Demokrat sesungguhnya memberikan kesempatan kader partai dan kalangan nonpartai untuk tampil menunjukkan kemampuan dan pengabdiannya untuk menjadi pemimpin bangsa. Tapi, yang menentukan kemenangan adalah rakyat. Bukan panitia konvensi ataupun majelis tinggi Partai Demokrat," ujar Edhie di sela-sela acara tersebut.
Dia juga menegaskan, semua peserta konvensi mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk terpilih, baik kader partai maupun bukan.
Endriartono Sutarto, yang mantan Panglima TNI, juga mulai bergerak. Ia ingin menjadikan anak-anak muda, terutama mahasiswa, sebagai sasaran utama penyebaran gagasan. Ia ingin menyebarkan gagasannya untuk menyelesaikan masalah bangsa.
Menurut Endriartono, generasi muda masih bisa melihat masalah dengan jernih. Pasalnya, mereka belum ada kepentingan dan belum termarjinalisasi. Dengan intelektual yang cukup ini, ia berharap ide-idenya tentang perkembangan bangsa tersebar luas dan diterima.
Ia mengakui, komunitas kampus terbatas jumlahnya. Namun, menurut Endriartono ia lebih memilih kampus daripada kelompok-kelompok seperti buruh atau nelayan.
Alasan Endriartono, mahasiswa yang bisa menerima idenya diharapkan bisa meneruskan ke orang-orang lain. Sementara kelompok-kelompok marjinal selalu akan berkutat di isu kesejahteraan. "Kalau kandidat bohong pun akan langsung diiyakan," kata Endriartono.
Ia mengakui, popularitas memegang peranan. Di sisi lain, ada beberapa kandidat yang menguasai media sehingga terjadi ketidakseimbangan. Namun, ia akan terus mengembangkan gagasannya. "Saya ingin dikenal karena gagasan, bukan hanya karena foto saya," ucapnya.
Militer profesional
Adanya fenomena beberapa jenderal TNI purnawirawan yang menjadi capres ini menarik dicermati. Menurut dosen politik Universitas Pertahanan, Salim Said, kepemimpinan militer berbeda dengan sipil. Jenderal dalam militer dilatih serta dididik untuk memimpin anak buah dan juga dilatih untuk dipimpin. Hal ini tidak ada di dunia politik sipil.
Purnawirawan jenderal saat ini juga militer profesional. Intensinya tidak ingin menggunakan TNI aktif. Tentara aktif juga memandang para purnawirawan itu sebagai orang luar. "Jadi, kita tidak usah takut jenderal-jenderal itu akan tarik anak buahnya," kata Salim. (OSA/EDN/PRA)
BALIKPAPAN, KOMPAS.com — Konvensi Partai Demokrat untuk mencari calon presiden 2014 telah dibuka, Minggu (15/9/2013). Sebelas peserta konvensi pun langsung bergerak menggalang dukungan, termasuk dua jenderal purnawirawan yang ikut bertarung, yaitu Pramono Edhie Wibowo yang juga kader Partai Demokrat dan Endriartono Sutarto dari luar partai.
Tiga kader Demokrat lainnya adalah Hayono Isman, Marzuki Alie, dan Sinyo Harry Sarundajang. Sementara enam lainnya dari luar partai, yaitu Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Gita Wirjawan, dan Irman Gusman.
Edhie, Senin (16/9/2013), langsung memanfaatkan momentum ini untuk mulai memperkenalkan dirinya ke publik. Dia berkunjung ke Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam acara Halalbihalal Akbar dan Syukuran HUT Ke-68 Kemerdekaan RI di Balikpapan, Kalimantan Timur, oleh pemangku adat Dayak, Edhie secara resmi diberi nama adat Madang Lendjou. Penyerahan simbol adat berikut sertifikat pengangkatan nama adat oleh Kepala Adat Dayak Edi Gunawan itu juga disaksikan Gubernur Kaltim H Awang Faroek Ishak dan Pangdam VI/Mulawarman Dicky W Usman.
"Lewat konvensi capres, Demokrat sesungguhnya memberikan kesempatan kader partai dan kalangan nonpartai untuk tampil menunjukkan kemampuan dan pengabdiannya untuk menjadi pemimpin bangsa. Tapi, yang menentukan kemenangan adalah rakyat. Bukan panitia konvensi ataupun majelis tinggi Partai Demokrat," ujar Edhie di sela-sela acara tersebut.
Dia juga menegaskan, semua peserta konvensi mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk terpilih, baik kader partai maupun bukan.
Endriartono Sutarto, yang mantan Panglima TNI, juga mulai bergerak. Ia ingin menjadikan anak-anak muda, terutama mahasiswa, sebagai sasaran utama penyebaran gagasan. Ia ingin menyebarkan gagasannya untuk menyelesaikan masalah bangsa.
Menurut Endriartono, generasi muda masih bisa melihat masalah dengan jernih. Pasalnya, mereka belum ada kepentingan dan belum termarjinalisasi. Dengan intelektual yang cukup ini, ia berharap ide-idenya tentang perkembangan bangsa tersebar luas dan diterima.
Ia mengakui, komunitas kampus terbatas jumlahnya. Namun, menurut Endriartono ia lebih memilih kampus daripada kelompok-kelompok seperti buruh atau nelayan.
Alasan Endriartono, mahasiswa yang bisa menerima idenya diharapkan bisa meneruskan ke orang-orang lain. Sementara kelompok-kelompok marjinal selalu akan berkutat di isu kesejahteraan. "Kalau kandidat bohong pun akan langsung diiyakan," kata Endriartono.
Ia mengakui, popularitas memegang peranan. Di sisi lain, ada beberapa kandidat yang menguasai media sehingga terjadi ketidakseimbangan. Namun, ia akan terus mengembangkan gagasannya. "Saya ingin dikenal karena gagasan, bukan hanya karena foto saya," ucapnya.
Militer profesional
Adanya fenomena beberapa jenderal TNI purnawirawan yang menjadi capres ini menarik dicermati. Menurut dosen politik Universitas Pertahanan, Salim Said, kepemimpinan militer berbeda dengan sipil. Jenderal dalam militer dilatih serta dididik untuk memimpin anak buah dan juga dilatih untuk dipimpin. Hal ini tidak ada di dunia politik sipil.
Purnawirawan jenderal saat ini juga militer profesional. Intensinya tidak ingin menggunakan TNI aktif. Tentara aktif juga memandang para purnawirawan itu sebagai orang luar. "Jadi, kita tidak usah takut jenderal-jenderal itu akan tarik anak buahnya," kata Salim. (OSA/EDN/PRA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar