5rigala2012
Princess Acta Diurna
Senin, 19 November 2012
Freeport berencana invest di Kalimantan ?
Kamis, 15 November 2012
Salamuddin: Presiden SBY Melanggar Konstitusi
Kamis, 15 November 2012
BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bisa dinilai melanggar konstitusi terkait dengan pernyataannya
bahwa semua kontrak yang telah ditandatangani Badan Pelaksana Minyak
dan Gas tetap berlaku.
Hal ini karena pernyataannya dinilai tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang antara lain memutuskan pembubaran BP Migas.
Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia menyatakan, menurut MK, BP Migas harus dibubarkan karena pemerintah tidak dapat menunjuk secara langsung siapa yang menjadi kontraktor.
Setelah BP Migas menandatangani kontrak, negara harus tunduk pada kontrak dan negara kehilangan kebebasan untuk melakukan regulasi yang bertentangan dengan kontrak.
"Artinya, seluruh kontrak yang ditandatangani BP Migas telah memaksa negara tunduk pada kontrak tersebut. Dengan demikian kontrak bertentangan dengan konstitusi," kata Salamuddin di Jakarta, Kamis (15/11/2012).
Menurut Salamuddin, MK menyatakan, keuntungan negara menjadi tidak maksimal karena penguasaan migas bentuk badan hukum tetap atau badan usaha dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha.
"Efektifitas penguasaan negara dapat terjadi jika pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan tanpa harus ditambahi dengan BP Migas. Ini berarti seluruh kontrak yang ditandatangani BP Migas adalah pelaksanaan dari liberalisasi pasar atau persaingan bebas di sektor migas. Dengan demikian kontrak tersebut bertentangan dengan konstitusi," kata Salamuddin.
Hal ini karena pernyataannya dinilai tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang antara lain memutuskan pembubaran BP Migas.
Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia menyatakan, menurut MK, BP Migas harus dibubarkan karena pemerintah tidak dapat menunjuk secara langsung siapa yang menjadi kontraktor.
Setelah BP Migas menandatangani kontrak, negara harus tunduk pada kontrak dan negara kehilangan kebebasan untuk melakukan regulasi yang bertentangan dengan kontrak.
"Artinya, seluruh kontrak yang ditandatangani BP Migas telah memaksa negara tunduk pada kontrak tersebut. Dengan demikian kontrak bertentangan dengan konstitusi," kata Salamuddin di Jakarta, Kamis (15/11/2012).
Menurut Salamuddin, MK menyatakan, keuntungan negara menjadi tidak maksimal karena penguasaan migas bentuk badan hukum tetap atau badan usaha dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha.
"Efektifitas penguasaan negara dapat terjadi jika pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan tanpa harus ditambahi dengan BP Migas. Ini berarti seluruh kontrak yang ditandatangani BP Migas adalah pelaksanaan dari liberalisasi pasar atau persaingan bebas di sektor migas. Dengan demikian kontrak tersebut bertentangan dengan konstitusi," kata Salamuddin.
- Editor : Edibpost
- Sumber : Kompas.com
Rabu, 14 November 2012
BP Migas Bubar, Presiden Minta Investor Tidak Cemas
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah telah mengantisipasi pembubaran BP Migas. (Foto: Dok)
JAKARTA — Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengatakan pemerintah akan melakukan langkah antisipasi agar
investor mendapat kepastian, menyusul pembubaran Badan Pelaksana Minyak
dan Gas Bumi (BP Migas).
Dalam pidato yang disampaikan di Istana Negara di Jakarta, Rabu (14/11), Presiden juga menegaskan saat ini tugas-tugas BP Migas akan dikendalikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Memang putusan itu menimbulkan kecemasan dari berbagai kalangan menyangkut kepastian hukum dari kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia. Kepada para investor dan pelaku usaha minyak dan gas bumi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, saya katakan bahwa semua perjanjian dan kontrak kerja sama tetap berlaku meskipun ada transisi sekarang ini di bawah kendali Menteri ESDM,” ujar Presiden Yudhoyono.
“Tetapi pemerintah mulai besok akan menyusun aturan yang pasti yang nantinya, Insya Allah, bisa menjadi undang-undang yang baru, agar dunia bisnis hulu, minyak dan gas bumi ini berlangsung dengan baik, transparan, bebas dari penyimpangan, bebas dari benturan kepentingan dan sebagainya. Ini aset negara, kekuatan ekonomi kita, masa depan kita.”
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Hatta Rajasa mengatakan akan dibentuk sebuah unit melalui Peraturan Presiden agar bisnis migas di Indonesia tetap berjalan.
“Mengingat BP Migas tidak lagi eksis atau tidak lagi ada lagi ada dengan keputusan MK tersebut maka dirasakan perlu untuk menetapkan Peraturan Presiden yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dari badan atau lembaga tersebut,” ujar Hatta, yang juga merupakan besan Presiden.
Sementara itu, Menteri ESDM Jero Wacik menegaskan kementeriannya siap menjalani tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan BP Migas untuk mengisi masa transisi pasca keputusan MK membubarkan BP Migas.
“Fungsi yang ada di BP Migas itu dikembalikan kepada ESDM, jadi akan berjalan semua. Jadi kontrak yang sudah berjalan, evaluasi, persiapan-persiapan itu akan berjalan biasa sehingga para investor saya minta tenang saja berjalan seperti biasa,” ujar Jero.
Kepala BP Migas R.Priyono mengatakan ia khawatir kegiatan operasional sektor minyak dan gas bumi di tanah air terganggu.
“Sementara kegiatan operasi kemungkinan besar akan terganggu karena tidak ada lagi yang memberikan pengawasan kepada mereka, apa yang ditandatangani oleh BP Migas kemungkinan menjadi tidak legal,” ujar Priyono.
Pengamat migas dari Pusat Kajian Strategi untuk Kepentingan Nasional, Dirgo Purbo, menilai MK terlalu cepat mengambil keputusan karena seharusnya bisa dikomunikasikan terlebih dahulu dengan berbagai pihak seperti DPR, akademisi dan pengamat.
“Ok, BP Migas setuju dicabut, tetapi pada saat yang bersamaan sudah langsung bilang konsekuensi semua perusahaan dikontrol sama Pertamina. Sekarang, mau ke menteri, menterinya masih belum punya pegangan. SOP-nya mana, cost recovery-nya kemana, claimnya gimana, ini kan 24 jam minyak jalan kalau ada apa-apa pemerintah jamin nggak?” ujar Dirgo.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pada Selasa (13/12) untuk membubarkan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan mengalihkan wewenangnya pada kementerian yang sesuai. MK menilai BP Migas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/2001 Tentang Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga harus dibubarkan.
MK juga menilai Undang-Undang Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.
Keputusan MK tersebut dikeluarkan setelah uji materi diajukan 42 pemohon dari organisasi maupun perorangan, diantaranya Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Laznah Siyasiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi serta Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komarudin Hidayat.(VOA)
Dalam pidato yang disampaikan di Istana Negara di Jakarta, Rabu (14/11), Presiden juga menegaskan saat ini tugas-tugas BP Migas akan dikendalikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Memang putusan itu menimbulkan kecemasan dari berbagai kalangan menyangkut kepastian hukum dari kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia. Kepada para investor dan pelaku usaha minyak dan gas bumi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, saya katakan bahwa semua perjanjian dan kontrak kerja sama tetap berlaku meskipun ada transisi sekarang ini di bawah kendali Menteri ESDM,” ujar Presiden Yudhoyono.
“Tetapi pemerintah mulai besok akan menyusun aturan yang pasti yang nantinya, Insya Allah, bisa menjadi undang-undang yang baru, agar dunia bisnis hulu, minyak dan gas bumi ini berlangsung dengan baik, transparan, bebas dari penyimpangan, bebas dari benturan kepentingan dan sebagainya. Ini aset negara, kekuatan ekonomi kita, masa depan kita.”
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Hatta Rajasa mengatakan akan dibentuk sebuah unit melalui Peraturan Presiden agar bisnis migas di Indonesia tetap berjalan.
“Mengingat BP Migas tidak lagi eksis atau tidak lagi ada lagi ada dengan keputusan MK tersebut maka dirasakan perlu untuk menetapkan Peraturan Presiden yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dari badan atau lembaga tersebut,” ujar Hatta, yang juga merupakan besan Presiden.
Sementara itu, Menteri ESDM Jero Wacik menegaskan kementeriannya siap menjalani tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan BP Migas untuk mengisi masa transisi pasca keputusan MK membubarkan BP Migas.
“Fungsi yang ada di BP Migas itu dikembalikan kepada ESDM, jadi akan berjalan semua. Jadi kontrak yang sudah berjalan, evaluasi, persiapan-persiapan itu akan berjalan biasa sehingga para investor saya minta tenang saja berjalan seperti biasa,” ujar Jero.
Kepala BP Migas R.Priyono mengatakan ia khawatir kegiatan operasional sektor minyak dan gas bumi di tanah air terganggu.
“Sementara kegiatan operasi kemungkinan besar akan terganggu karena tidak ada lagi yang memberikan pengawasan kepada mereka, apa yang ditandatangani oleh BP Migas kemungkinan menjadi tidak legal,” ujar Priyono.
Pengamat migas dari Pusat Kajian Strategi untuk Kepentingan Nasional, Dirgo Purbo, menilai MK terlalu cepat mengambil keputusan karena seharusnya bisa dikomunikasikan terlebih dahulu dengan berbagai pihak seperti DPR, akademisi dan pengamat.
“Ok, BP Migas setuju dicabut, tetapi pada saat yang bersamaan sudah langsung bilang konsekuensi semua perusahaan dikontrol sama Pertamina. Sekarang, mau ke menteri, menterinya masih belum punya pegangan. SOP-nya mana, cost recovery-nya kemana, claimnya gimana, ini kan 24 jam minyak jalan kalau ada apa-apa pemerintah jamin nggak?” ujar Dirgo.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pada Selasa (13/12) untuk membubarkan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan mengalihkan wewenangnya pada kementerian yang sesuai. MK menilai BP Migas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/2001 Tentang Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga harus dibubarkan.
MK juga menilai Undang-Undang Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.
Keputusan MK tersebut dikeluarkan setelah uji materi diajukan 42 pemohon dari organisasi maupun perorangan, diantaranya Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Laznah Siyasiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi serta Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komarudin Hidayat.(VOA)
Selasa, 13 November 2012
Daftar Negara yang Nasionalisasi Perusahaan Minyak Asing
Posted on Oktober 3, 2012 by A Nizami
Inilah daftar negara yang menasionalisasi
perusahaan minyak asing (Perusahaan AS, Inggris, Uni Soviet, dsb). Iran
menasionalisasi perusahaan minyaknya lewat tekanan ulama dan
rakyatnya. Arab Saudi menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di
tahun 1974 lewat Raja Faisal. Raja Faisal berhasil mengubah negara Arab
Saudi yang di tahun 1970-an miskin, menjadi negara yang sangat makmur
sekarang ini. Karena sejak dinasionalisasi, pendapatan minyak meningkat
drastis sehingga bisa mendanai pembangunan secara masif.
Hugo
Chavez berhasil menasionalisasi perusahaan migas di Venezuela. Meski
Exxon menuntut US$ 12 Milyar atas asetnya, namun Lembaga Arbitrase
Internasional memutuskan hanya US$ 907 juta yang harus dibayar. Artinya
dengan produksi minyak Venezuela sekitar 3 juta bph, dengan harga minyak
US$ 100/brl, aset Exxon itu sudah lunas dibayar dengan produksi minyak
10 hari saja. Evo Morales juga berhasil menasionalisasi perusahaan
minyak di Bolivia.
Ada pun Norwegia, meski merupakan negara
Liberal, tetap mengelola migas mereka melalui BUMN mereka sehingga 100%
hasil migas dinikmati rakyat mereka. Bukan oleh segelintir pengusaha
asing/swasta. Tak heran meski baru menemukan minyak di tahun 1970-an,
mereka jauh lebih makmur ketimbang Indonesia yang sudah 100 tahun
minyaknya dikeruk. Ini karena Norwegia mengeruk minyaknya sendiri.
Sedang Indonesia, yang mengeruk 90% adalah perusahaan2 asing seperti
Chevron, Exxon Mobil, Conoco, dsb.
Dalam ayat 3
Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala
hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara
untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Dari situ kita tahu bahwa seharusnya
kekayaan alam Indonesia seperti minyak, gas, emas, perak, tembaga,
batubara, dsb dikelola oleh negara melalui BUMN sehingga bisa dinikmati
oleh rakyat banyak. Bukan justru dinikmati oleh perusahaan2 asing dan
segelintir kompradornya.
Tentu saja Nasionalisasi akan membawa
resiko. Raja Faisal setelah menasionalisasi perusahaan AS Aramco di
tahun 1974, tahun 1975 ditembak mati oleh keponakannya sendiri.
Sementara Hugo Chavez dan Evo Morales jadi musuh Amerika Serikat.
Berulangkali Hugo Chavez mengalami percobaan pembunuhan.
Ada pun Iran, mengalami berbagai embargo
dari pembekuan aset, embargo minyak, bahkan ancaman perang terbuka oleh
AS dan sekutunya. Ayatullah Kashani yang memimpin rakyat untuk
menasionalisasi perusahaan minyak asing diasingkan ke Lebanon.
Iraq bahkan diserang dan dibunuh
presidennya (Saddam Hussein). Jadi Nasionalisasi penuh resiko yang
berat. Namun pejuang kita dulu punya semboyan “Merdeka atau Mati!”. Dari
pada hidup hina terjajah, lebih baik merdeka atau mati.
Beberapa negara yang telah melakukan Nasionalisasi adalah Iran, Mesir, Arab Saudi, Cili, Venezuela, Bolivia, Norwegia, dsb.
Sejarah Nasionalisasi Minyak Iran
Akhir abad 19, bersamaan dengan gerakan
Revolusi Konstitusi di Iran, munculnya gerakan nasionalisasi industri
minyak Iran membuat negara-negara imperialis semakin tamak untuk
mencampuri urusan dalam negeri Iran. Sejak ditemukannya minyak, dua
negara besar kala itu yaitu Inggris dan Rusia, lebih dahulu terjun ke
kancah ini dan kedua negara mulai mencampuri urusan dalam negeri Iran.
Masing-masing pihak berusaha untuk meraih bagian lebih besar dari sumber
alam Iran. Akan tetapi, Britania lebih dahulu memahami pentingnya
industri minyak dibanding negara-negara rivalnya dan dengan cepat
memantapkan pijakan imperialisnya di Iran.
Sebelum meletusnya Perang Dunia I, bagi
para pejabat Iran dan negara-negara lain, industri minyak masih sangat
asing dan oleh karena itu mereka tidak menunjukkan sensitivitas dalam
memberi konsesi kepada negara lain di sektor ini. Perang Dunia I
menyingkap pentingnya industri minyak yang dinilai sebagai motor
penggerak pasukan perang yang membawa kemenangan bagi pasukan sekutu.
Baru setelah Perang Dunia I, para pejabat Iran dan negara lain membuka
mata dan menyadari pentingnya industri minyak.
Konsesi D’Arcy
Sejarah perjanjian minyak Iran dimulai dengan konsesi yang diberikan oleh Shah Naseruddin Shah pada tahun 1872 untuk Baron Julius de Reuter, seorang warga Inggris asal Jerman. Konsesi yang mencakup seluruh wilayah Persia itu, memberikan hak eksklusif dan monopoli kepada Reuter untuk mengeksploitasi sumber daya mineral termasuk batubara, besi, tembaga, timah, dan minyak bumi selama 70 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalan, rel kereta api, jaringan telegraf, kanal air, sistem irigasi, dan layanan bea cukai.
Sejarah perjanjian minyak Iran dimulai dengan konsesi yang diberikan oleh Shah Naseruddin Shah pada tahun 1872 untuk Baron Julius de Reuter, seorang warga Inggris asal Jerman. Konsesi yang mencakup seluruh wilayah Persia itu, memberikan hak eksklusif dan monopoli kepada Reuter untuk mengeksploitasi sumber daya mineral termasuk batubara, besi, tembaga, timah, dan minyak bumi selama 70 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalan, rel kereta api, jaringan telegraf, kanal air, sistem irigasi, dan layanan bea cukai.
Kontrak Reuter dibatalkan beberapa tahun
kemudian akibat tekanan politik kuat dari pemerintah Tsar (Rusia) serta
sejumlah tokoh oposisi terkemuka Persia. Namun berkat intervensi
Inggris, Shah Naseruddin Shah memberikan konsesi baru kepada Reuter pada
tahun 1889, yang kemudian dikenal dengan konsesi Bank-e Shahi (Bank
Imperium Persia). Berdasarkan konsesi itu, bank berhak memanfaatkan
semua sumber daya mineral di seluruh negeri, kecuali emas, perak, dan
logam berharga lainnya. Bank tersebut kemudian menjual hak eksploitasi
mineral di Iran itu kepada sebuah perusahaan Inggris Persian Mining
Corporation dengan harga 150.000 poundsterling. 10 tahun kemudian,
konsesi Persia Mining Corporation itu dibatalkan karena kurang
pendanaan.
Rentetan peristiwa itu membuat Persia
masuk dalam skema minyak internasional. Langkah pertama diawali oleh
Antoine Ketabchi Khan, komisaris jenderal Persia untuk Pameran Paris
1900. Ketabchi Khan, adalah seorang keturunan Armenia yang menjabat
beberapa posisi penting dalam pemerintah Persia, termasuk sebagai
direktur bea cukai. Meskipun secara lahiriyah Ketabchi Khan hanya
bermaksud meninjau Pameran Paris, akan tetapi tujuan utamanya adalah
mencari investor dari Eropa yang bersedia mengambil konsesi minyak di
Persia. Di Paris, Ketabchi Khan meminta bantuan Sir Henry Drummond
Wolff, mantan menteri Inggris di Tehran era 1887-1890, yang menyarankan
William Knox D’Arcy untuk merebut konsesi minyak di Persia.
D’Arcy adalah seorang investor Inggris
yang sukses di sektor pertambangan emas di Australia dan berhasrat untuk
mencoba keberuntungannya di sektor minyak Persia. Pada tanggal 16 April
1901, perwakilan D’Arcy’s tiba di Tehran untuk berunding. Persaingan
antara Inggris dan Tsar Rusia kala itu mengubah negeri Persia menjadi
faktor determinan dalam diplomasi kekuatan adidaya.
Rusia ingin membuktikan politik
dominannya atas Persia dan menyingkirkan negara-negara rival. Adapun
bagi menteri Inggris untuk Persia, Sir Arthur Henry Hardinge, tujuan
utama pemerintah London adalah melawan aksi-aksi seperti itu. Dan di
sinilah D’Arcy dan kontribusinya di sektor minyak dapat membantu. Sebuah
konsesi minyak tentu akan membantu menyeimbangkan pengaruh dan kekuatan
Inggris di hadapan Rusia. Oleh karena itu, Inggris memberikan penuh
atas upaya D’Arcy.
Pemerintah Muzaffaruddin Shah pada tahun
1901 memberikan D’Arcy konsesi minyak di seluruh wilayah Iran kecuali
Azerbaijan, Gilan, Mazandaran, Gorgan, dan Khorasan, yang berbatasan
dengan Rusia. Konsesi itu berlaku selama 60 tahun. Akan tetapi konsesi
tersebut tidak hanya terbatas pada minyak melainkan seluruh tambang
mineral Persia.
Kontrak D’Arcy mengantar hubungan
bilateral Inggris dan Persia pada satu titik bersejarah, mengingat
kepentingan Britania di Persia mencakup kepentingan strategis. Persia
berada di jalur penting bagi Inggris untuk mencapai wilayah jajahannya,
India. Inggris khawatir jika pengaruh Rusia mendominasi, maka jalur
menuju India akan terblokir.
Di sisi lain, imperium Persia menghadapi
dua kekuatan adidaya itu dengan politik-politik konservatif dan pasif.
Oleh karena itu, konsesi D’Arcy tidak mencakup lima propinsi di wilayah
utara yang diserahkan kepada Rusia. Namun, Rusia tidak pernah
menggunakan konsesinya.
Fajar Minyak Iran
William Knox D’Arcy, adalah raja minyak Iran yang tidak pernah menginjakkan kakinya ke Iran. D’Arcy tidak memiliki organisasi dan perusahaan, hanya seorang sekretaris menangani menangani korespondensi bisnisnya. Untuk masalah penanganan operasi kerja di lapangan, ia merekrut George Reynolds, lulusan Sekolah Tinggi Teknik Kerajaan India yang memilii pengalaman pengeboran di Sumatra.
William Knox D’Arcy, adalah raja minyak Iran yang tidak pernah menginjakkan kakinya ke Iran. D’Arcy tidak memiliki organisasi dan perusahaan, hanya seorang sekretaris menangani menangani korespondensi bisnisnya. Untuk masalah penanganan operasi kerja di lapangan, ia merekrut George Reynolds, lulusan Sekolah Tinggi Teknik Kerajaan India yang memilii pengalaman pengeboran di Sumatra.
Situs pertama yang dipilih untuk
eksplorasi berada di Chia Sorkh, sebuah dataran tinggi yang nyaris tidak
dapat diakses di pegunungan di Kermanshah, Iran barat, Mamatin,
Rohmurz, dan zona minyak di Masjed Soleiman. Di Chia Sorkh tidak
ditemukan sumber minyak yang cukup berarti. Di Mamatin juga tidak
ditemukan minyak.
Kondisi pengeboran minyak di Masjed
Soleiman kondisinya berbeda. Ketika sampai di kedalaman 360 meter, pucuk
bor berhasil menembus lapisan penutup sumur minyak dan dengan demikian
pada 26 Mei 1902, dimulailah fajar minyak di Iran. Akan tetapi, hal itu
terjadi di saat D’Arcy diminta untuk menghentikan operasi eksploitasi
minyaknya dan merelokasi seluruh perlengkapan minyaknya ke Khorramshahr
untuk direlokasi ke Inggris.
Pasalnya, pada April 1904, nyaris tiga
tahun operasinya di Iran, biaya operasional yang tinggi menyeret
perusahaan D’Arcy, hingga ke ambang bangkrut. Pemerintah Inggris
khawatir bahwa D’Arcy kemungkinan terpaksa kehilangan konsesinya dan
menjualnya kepada pihak asing. Akhirnya, pada tahun 1905, empat tahun
sejak Shah Iran menandatangani konsesi itu, muncul persaingan antara
D’Arcy dan perusahaan Burma Oil di London. Kedua pihak sepakat
bekerjasama dengan membentuk sindikat bernama Anglo-Persian Oil Company
(APOC). Perusahaan operasional D’Arcy menjadi anak perusahaan, dan
D’Arcy sendiri ditunjuk sebagai direktur perusahaan baru tersebut.
Pembentukan sindikat konsesi diikuti
dengan pergeseran lokasi eksplorasi ke kawasan barat daya Iran di
Meidan-e-Naftan. Anglo-Persian Oil Company (APOC), go public pada
tanggal 19 April 1909, dan penawaran saham pada hari itu mengakibatkan
cabang Glasgow Bank of Scotland dikerumuni para peminat yang bersemangat
untuk berinvestasi. Burmah Oil mengambil mayoritas saham sindikat
tersebut dan D’Arcy mendapat saham senilai 895.000 poundsterling sebagai
kompensasi biaya eksplorasi.
Sebuah sumber minyak baru telah diamankan
di bawah pemerintah Inggris. Namun muncul masalah dalam proses
ekstraksi dan penyulingannya. Situs tersebut untuk kilang minyak Abadan.
Pada tes pertama tahun 1912, kilang minyak mengalami kerusakan dan
kualitas produknya juga rendah. Kembali kelangsungan hidup sindikat
Anglo-Persian Oil Company (APOC) terancam. Pada akhir 1912, APOC telah
habis modal kerja. Beberapa tahun lalu, perusahaan Burma Oil menjadi
penyelamat dan sekarang ia harus mencari juru penyelamat.
Pada Juni 1913 Winston Churchill,
Laksamana Agung Angkatan Laut Britania, menyerahkan memorandum kepada
kabinet yang isinya suplai minyak untuk armada Angkatan Laut Kerajaan.
Kabinet setuju prinsip yang ditawarkan bahwa pemerintah harus meraih
saham mayoritas di pihak pemasok bahan bakar terpercaya. Setelah
perdebatan panjang di kabinet, diputuskan bahwa pemerintah sendiri akan
menjadi pemegang saham Anglo-Persian Oil Company (APOC).
Mulainya Friksi
Setelah pemerintah Inggris menjadi pemegang saham APOC, di lain pihak pemerintah Iran menandatangani kontrak dengan perusahaan lain termasuk Bakhtiari Oil Company, First Exploration Oil Company. Kontrak-kontrak tersebut semakin melemahkan posisi pemerintah pusat Iran dan penentangan dari berbagai etnis dan kelompok nomaden pun semakin meningkat.
Setelah pemerintah Inggris menjadi pemegang saham APOC, di lain pihak pemerintah Iran menandatangani kontrak dengan perusahaan lain termasuk Bakhtiari Oil Company, First Exploration Oil Company. Kontrak-kontrak tersebut semakin melemahkan posisi pemerintah pusat Iran dan penentangan dari berbagai etnis dan kelompok nomaden pun semakin meningkat.
Selama Perang Dunia I, meski menyatakan
netral, Persia diinvasi oleh tentara Inggris, Rusia, dan Turki. Selain
itu, ada pemberontakan suku di selatan dan di utara. Kala itu, kondisi
di Iran benar-benar kacau. Situasi carut marut seperti itu, sangat
menguntungkan bagi tokoh kuat untuk terjun dan mengisi kekosongan
wewenang di ibukota Tehran.
Terdorong oleh kondisi, Reza Khan,
seorang perwira militer, merebut kekuasaan pada tahun 1921. Setelah
menjabat sebagai menteri pertahanan, ia meningkatkan jabatannya menjadi
menjadi perdana menteri pada tahun 1923. Dua tahun kemudian Ahmad Shah
digulingkan dan pada tahun 1926 Reza Khan memilih nama Pahlevi sebagai
nama dinastinya, dan menobatkan diri sebagai Reza Syah Pahlevi. Di lain
pihak, APOC tidak memerlukan waktu lama menyadari bahwa mereka tidak
lagi berurusan dengan pemerintahan tradisional yang lemah dari era
Qajar, melainkan kini mereka berhadapan dengan sosok otoriter yang kuat.
Di bawah pemerintahan Reza Syah, Iran
memulai program modernisasi yang pelaksanaannya pemberdayaannya
memerlukan sumber finansial yang sangat besar. Dinasti Pahlevi menolak
pinjaman dari luar negeri, karena dinilai akan mengancam independensi
nasional. Meski pajak tidak langsung di dalam negeri pada produk-produk
harian seperti teh dan gula ditingkatkan untuk mendanai proyek-proyek
seperti Kereta Api Trans-Iran, Shah tidak ingin kehilangan pendapatan
dengan meningkatkan dari keuntungan yang diterima APOC dan pembayaran
pajak.
Pasca Perang Dunia I, muncul friksi
antara Iran dan APOC. Sejak tahun 1927, digelar perundingan terperinci
untuk menyelesaikan friksi antara Teymourtash, dari dewan menteri
Dinasti Pahlevi dan perusahaan Inggris. Akan tetapi kedua pihak gagal
mencapai kesepakatan.
Di akhir tahun 1928, Sir John Cadman,
Presiden APOC, mengusulkan kepada Teymourtash untuk memperpanjang
konsesi D’Arcy guna mendapat dana investasi. Akan tetapi Teymourtash
menjawab usulan Codman itu dan mengatakan, “Iran siap untuk merevisi
konsesi D’Arcy tapi tidak untuk perpanjangannya.”
Pada 26 November 1932, Reza Shah
mendiktekan surat pembatalan konsesi D’Arcy. Surat tersebut
dipubliasikan secara resmi keesokan harinya. Meski dalam surat itu
disebutkan bahwa pembatalan sepihak itu merupakan satu-satunya cara
untuk melindungi hak-hak negara, ditekankan pula bahwa pemerintah Iran
pada prinsipnya tidak menolak memberikan konsesi baru.
Menyikapi surat tersebut, pemerintah
Inggris menyatakan bahwa Iran tidak berhak membatalkan konsesi secara
sepihak. Lima bulan kemudian, pada bulan April 1933, Sir John Cadman
pergi ke Tehran mencoba menyelamatkan kondisi dan bertemu dengan Shah.
Pertemuan itu menjadi peristiwa monumental karena masing-masing memiliki
wewenang tak terbantahkan untuk kesepakatan. Kedua pihak pun meraih
terobosan baru. (IRIB Indonesia)
http://indonesian.irib.ir/c/journal/view_article_content?groupId=10330&articleId=5037999&version=1.0
Setelah pendudukan atas Iran oleh Inggris
dan Soviet, serta masuknya Amerika Serikat ke kancah Iran pada era
Perang Dunia II, persaingan kaum imperialis terhadap sumber minyak di
Iran juga semakin meningkat. Menyusul permintaan minyak dari ketiga
negara itu, pemerintah Iran menyatakan bahwa segala bentuk konsesi atau
kontrak minyak harus ditangguhkan setelah perang. Karena pada masa itu,
kondisi perekonomian negara sedang tidak sehat karena perang. Iran
secara resmi menolak permintaan minyak ketiga negara.
Penolakan tersebut sangat menyakitkan
bagi Uni Soviet yang langsung menghujani pemerintah Iran dengan berbagai
kritik. Doktor Mohammad Mosaddeq, mengemukakan pidato panjang di
parlemen dan menjawab pertanyaan dari berbagai media massa dalam negeri.
Pasca Perang Dunia II, Inggris dan Uni
Soviet, diwajibkan menarik mundur pasukannya dari wilayah Iran dalam
kurun waktu enam bulan. Akan tetapi Uni Soviet menolak keluar dari Iran
dan bahkan menambah jumlah pasukannya di wilayah utara. Pada masa itu,
Ahmad Qavam yang menjabat sebagai Perdana Menteri dengan berbagai
kebijakan yang diambil akhirnya mampu memaksa Uni Soviet menarik mundur
pasukannya dari utara Iran.
Ditandatangani kesepakatan antara
pemerintah Iran dan Duta Besar Uni Soviet di Tehran. Berdasarkan
kesepakatan tersebut, pasukan Soviet harus keluar dari wilayah Iran
dalam waktu satu setengah bulan dan akan dibentuk sebuah perusahaan
kolektif Iran-Soviet, yang proposalnya harus diserahkan kepada parlemen
hingga tujuh bulan berikutnya.
Akan tetapi, di tengah meningkatnya
nasionalisme Iran, ditetapkan satu pasal hukum pada 22 Oktober 1947 oleh
pemerintah Iran guna merevisi konsesi Anglo Iranian Oil Company (AIOC),
yang menjadi isu dominan dalam kehidupan politik di Iran selama
beberapa tahun ke depan.
Menariknya, pemerintah Inggris tidak
tampak kecewa atas penentapan hukum tersebut karena dengan demikian, Uni
Soviet kehilangan kesempatan untuk menjamah minyak Iran. Di satu sisi,
para pejabat Inggris mulai berunding dengan para pejabat Iran untuk
menjaga kepentingan minyak mereka di wilayah selatan Iran. Hasilnya
adalah bahwa kedua pihak menyepakati revisi
Akan tetapi kesepakatan tersebut
memancing penentangan hebat di dalam negeri termasuk dari kalangan
anggota parlemen dan pengamat. Akan tetapi pada akhirnya tanggal 17 Juli
1949, kesepakatan tambahan untuk konsesi 1933 ditandatangani oleh
direktur AIOC Neville Gass dan Menteri Keuangan Iran, Abbasqoli
Golshaiyan. Kesepakatan tersebut memang memihak pada Iran, akan tetapi
pemerintah Inggris mampu mengeruk berbagai konsesi hukum untuk
kesepakatan D’Arcy yang juga ditandatangani oleh parlemen. Inggris
berhasil memperpanjang kesepakatan tersebut hingga 33 tahun. Selama itu
penguasaan minyak Iran oleh pemerintah Inggris akan dijamin pemerintah
Tehran.
Berdasarkan pasal keepuluh dalam
kesepakatan tersebut memiliki legalitas hukum dan pemerintah Iran tidak
dapat dengan mudah membatalkan kesepakatan tersebut. Akan tetapi
berbagai dialog dan pembahasan meluas tentang masalah ini telah
menyadarkan masyarakat Iran yang akhirnya menyulap upaya memperjuangkan
hak bangsa dari bentuk perjuangan diplomatik menjadisebuah gerakan
nasional.
Ayatullah Kashani tampil untuk membimbing
gerakan perjuangan tersebut. Dia merilis pernyataan keras kepada AIOC
dan menuntut pembatalan kontrak. Meluasnya tuntutan pembatalan kontrak
tersebut dalam masyarakat sangat buruk bagi AIOC dan rezim Shah.
Ayatullah Kashani akhirnya diasingkan ke Lebanon.
Pembentukan Majlis ke-16 dan Terpilihnya PM Razmara
Majlis ke-16 dibentuk pada tanggal 20 Bahman 1328 (9 Februari 1950) dan pemerintahan Saed pada tanggal 27 Esfand tahun yang sama (18 Maret 1950), jatuh setelah tidak mendapat mosi percaya. Ali Mansour ditunjuk sebagai penanggung jawab pembentukan kabinet baru atas permintaan Kedutaan Besar Inggris terhadap Shah. Guna mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari kalangan agamis Mansour mengundang Ayatullah Kashani yang kala itu di pengasingannya di Lebanon untuk kembali pulang.
Majlis ke-16 dibentuk pada tanggal 20 Bahman 1328 (9 Februari 1950) dan pemerintahan Saed pada tanggal 27 Esfand tahun yang sama (18 Maret 1950), jatuh setelah tidak mendapat mosi percaya. Ali Mansour ditunjuk sebagai penanggung jawab pembentukan kabinet baru atas permintaan Kedutaan Besar Inggris terhadap Shah. Guna mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari kalangan agamis Mansour mengundang Ayatullah Kashani yang kala itu di pengasingannya di Lebanon untuk kembali pulang.
Akan tetapi kembalinya Ayatullah Kashani
bukan hanya tidak menguntungkan Mansour, namun justru meningkatkan
demonstrasi rakyat sepekan setibanya di Iran, Ayatullah Kashani
melayangkan surat kepada Majlis, yang dibacakan oleh Doktor Mosaddeq.
Surat itu dalam rangka mereaksi kesepakatan tambahan dengan AIOC.
Di satu sisi Mansour kehilangan dukungan
terkuatnya yaitu dari Inggris, dan di sisi lain menghadapi penentangan
hebat dari kubu Ayatullah Kashani. Akhirnya selang lima bulan berkuasa
Mansour terpaksa mengundurkan diri, dan Razmara menggantikan posisinya
sebagai Perdana Menteri.
Salah satu tugas utama Razmara adalah
menetapkan kesepakatan tambahan dengan AIOC yang diajukan oleh Mansour
kepada parlemen dan tengah dibahas di komisi energi. Komisi itu harus
menganalisa kesepakat tersebut dan menyerahkan hasilnya kepada parlemen.
Setelah melalui pembahasan panjang
akhirnya komisi itu merampungkan analisanya pada tanggal 19 Azar 1328 (9
Desember 1949) dan memaparkan penjelasannya kepada Majlis. Komisi
tersebut menyatakan penentangannya terhadap kesepakatan dengan AIOC
karena dinilai bertentangan dengan kepentingan bangsa Iran.
Pada tanggal 26 Azar 1328 (17 Desember
1949) parlemen menyetujui hasil analisa komisi energi dan dengan
demikian kesepakatan dengan AIOC dibatalkan.
Nasionalisasi Minyak
Di sela-sela laporannya, komisi energi menyinggung masalah nasionalisasi minyak. Ketika laporan itu diratifikasi, komisi minyak Iran mengajukan sebuah program yang ditandatangani anggotanya sebanyak 11 orang kepada Majlis. Akan tetapi karena kurang dukungan akhrinya program tersebut gagal dibahas dalam sidang Majlis.
Di sela-sela laporannya, komisi energi menyinggung masalah nasionalisasi minyak. Ketika laporan itu diratifikasi, komisi minyak Iran mengajukan sebuah program yang ditandatangani anggotanya sebanyak 11 orang kepada Majlis. Akan tetapi karena kurang dukungan akhrinya program tersebut gagal dibahas dalam sidang Majlis.
Di sisi lain Razmara berusaha mencari
jalan keluar dari kebuntuan yang ditimbulkan oleh komisi minyak
tersebut. Dia berusaha mencegah prakarsa nasionalisasi minyak. Pada
tanggal 3 Dey 1328 (24 Desember 1949), Razmara hadir dalam sidang
tertutup Majlis dan di sana dia menentang keras gagasan nasionalisasi
minyak. Di akhir pernyataannya Razmara mengatakan, “Nasionalosasi minyak
adalah pengkhianatan terbesar.”
Dua hari berikutnya, menteri keuangan,
Gholammohsen Forouhar mendatangi Majlis dan selain menentang
nasionalisasi minyak dia juga mengajukan sebuah prakarsa baru
Tanggal 8 Dey, atas imbauan Ayatullah
Kashani dan sejumlah partaifront nasional, dan puluhan ribu warga
berkumpul di bundaran Baharestan. Di akhir demonstrasi itu dirilis
statemen yang menentang kesepakatan dengan AIOC. Pasca berbagai
pekanggaran dan berbagai intrik Razmara, para pemimpin gerakan pendukung
nasionalisasi minyak berpendapat bahwa kendala utama bagi mereka adalah
Razmara. Kala itu gerakan rakyat dipimpin oleh Ayatullah Kashani,
berusaha dengan kerjasama front nasional yang dipimpin oleh Doktor
Mosaddeq, bersama sejumlah anggota Majlis, dan kelompok Fadaeyan-e Eslam
yang dipimpin oleh Shahid Navab Safavi. Fadaeyan-e Eslam dan Safavi
memutuskan untuk melakukan sebuah gerakan revolusioner dalam
merealisasikan program dengan menyingkirkan kendala utama yaitu Razmara
terlebih dahulu.
Dengan tersingkirnya Razmara, maka tidak
ada lagi pihak yang menghalangi program nasionalisasi minyak. Oleh
karena itu, komisi minyak di Majlis kembali mengajukan program
nasionalisasi minyak dan akhirya disetujui. Akan tetapi mengingat
sempitnya waktu untuk membahas program tersebut, komisi meminta
perpanjangan waktu hingga dua bulan untuk membahas implementasi program
tersebut.
Pada tanggal 17 Esfand 1329 (8 Maret 1951), Majlis menyetujui permintaan komisi minyak dan memutuskan dua ketetapan;
1. Komisi minyak dapat memanfaatkan ahli asing dan lokal dan jika oerlu mengundang mereka.
2. Mereka dapat hadir (tinggal) sampai 15 hari pasca pembentukan komisi.
2. Mereka dapat hadir (tinggal) sampai 15 hari pasca pembentukan komisi.
Nasionalisasi minyak Iran disetujui pada
tanggal 24 Esfand di Majlis dengan suara mutlak dan resmi ditetapkan
pada tanggal 29 Esfand 1329 (20 Maret 1951). Dengan isi ketetapan
sebagai berikut;
Bismillahirrahmanirrahim
Atas nama kesejahteraan bangsa Iran dan
dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia, kami para penandatangan di
bawah ini mengusulkan nasionalisasi minyak Iran di seluruh kawasan tanpa
pengecualian, yakni seluruh operasi eksplorasi, penambangan, dan
pemanfaatan harus ditangani pemerintah.
Penetapan tersebut menjadi program kerja
pemerintah dan seluruh zona minyak Iran berada di bawah kontrol
pemerintah. Situasi tersebut membuat para pegawai dan pekerja asing di
sektor minyak Iran tidak puas dan akhirnya mereka semua meninggalkan
Iran pada 10 Mehr 1330 (2 Oktober 1951). (IRIB Indonesia)
http://indonesian.irib.ir/c/journal/view_article_content?groupId=10330&articleId=5057413&version=1.0
Para anggota parlemen, pejabat, dan tokoh
masyarakat Iran, berhasil mengembalikan sektor industri perminyakan ke
tangan bangsa ini. Pada hakikatnya, industri perminyakan ini telah
melalui berbagai proses dan liuk jalan yang sangat rumit, yang akhirnya
pengaruh tangan asing dapat direduksi.
Upaya tersebut tidak sederhana karena
sebelum upaya tersebut berhasil, jumlah pejabat atau karyawan lokal di
sektor industri perminyakan Iran baik yang bekerja di bidang
administrasi maupun di lapangan, tidak lebih dari 30 orang. Oleh karena
itu, nasionalisasi minyak Iran dapat dikatakan merupakan momentum
bersejarah dalam upaya pengembalian sektor ini ke tangan rakyat Iran.
Sektor industri yang sebelumnya sangat asing bagi bangsa ini.
Perlu digaris bawahi bahwa sektor
industri dan reduksi pengaruh perusahaan minyak Iran dan Inggris
(Anglo-Persian Oil Company) itu tidak terjadi secara mendadak dan lenyap
tiba-tiba. Karena setelah perusahaan gabungan Iran-Inggris itu
tersingkir, terbentuk pula perusahaan-perusahaan serupaya dan juga
berbagai konsorsium baru seperti yang terjadi pada tanggal 29 Oktober
1954. Pada hari itu ditandatangani kontrak antara pemerintah Iran di
satu sisi dan sebuah konsorsium yang terdiri dari sejumlah perusahaan
perminyakan ternama.
Anggota konsorsium minyak Iran itu adalah
Perusahaan Eksplorasi Minyak dan Produksi Iran dan Perusahaan
Penyulingan Minyak Iran yang membentuk sebuah konsorsium bernama Iranian
Oil Participants Ltd (IOP).
Kedua perusahaan diberi ijin untuk
melakukan eksplorasi dan produksi minyak mentah dan gas alam di zona
yang telah ditentukan di selatan Iran yang dinamanakan, “Zona Kontrak”,
serta menyuling minyak dan gas yang diproduksi. Masing-masing perusahaan
tersebut dibentuk berdasarkan undang-undang Belanda dan diresmikan di
Iran. Masing-masing perusahaan itu juga membentuk sebuah perusahaan
cabang perdagangan yang juga dicatat di Iran yang beraktivitas secara
independen. Perusahaan itu membeli minyak dan gas alam yang diproduksi
dari zona di kawasan selatan kemudian menjualnya ke luar negeri.
Kedua perusahaan minyak tersebut juga
menyuling minyak yang telah dibeli dan diekspor ke luar negeri. Komitmen
finansial perusahaan dagang yang merupakan cabang dari perusahaan
anggota konsorsium tersebut adalah membayar sebagian dari keuntungan
dari penjualan minyak mentah yang diekspor dan juga pajak dari hasil
penjualan sesuai dengan harga saat itu. Persentasenya mulai dari 23
persen meningkat hingga 55 persen.
Tugas dan Hak Perusahaan Minyak Nasional Iran Sebelum Revolusi Islam
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, Perusahaan Minyak Nasional Iran bertanggung jawab mendistribusi dan menjual produk minyak dan gas alam untuk digunakan di dalam negeri. Adapun Iranian Oil Participants Ltd (IOP) bertugas menyerahkan minyak mentah yang dituntut oleh pasar dalam negeri kepada Perusahaan Minyak Nasional Iran.
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, Perusahaan Minyak Nasional Iran bertanggung jawab mendistribusi dan menjual produk minyak dan gas alam untuk digunakan di dalam negeri. Adapun Iranian Oil Participants Ltd (IOP) bertugas menyerahkan minyak mentah yang dituntut oleh pasar dalam negeri kepada Perusahaan Minyak Nasional Iran.
Perusahaan Nasional Minyak Iran juga
bertanggung jawab memenuhi, menjaga, dan mengatur sarana dukungan
produksi dengan istilah “jasa non-minyak”. Sementara seluruh sektor
industri perminyakan sendiri secara eksklusif dipegang oleh pihak asing.
Fasilitas permanen industri minyak Iran dalam tahap ini meski secara
resmi adalah milik Perusahaan Nasional Minyak Iran, akan tetapi
berdasarkan kontrak, perusahaan anggota konsorsium, berhak
menggunakannya secara eksklusif selama kontrak berlaku.
Dengan dimulainya aktivitas konsorsium
tersebut dan meski menurut rencana sebelumnya undang-undang
nasionalisasi minyak akan diberlakukan, akan tetapi pada praktiknya,
pemerintah dan Perusahaan Minyak Nasional Iran memiliki wewenang yang
terbatas dalam hal ini. Hingga September 1974, para anggota konsorsium
secara arbitrer menetapkan tingkat produksi dan harga minyak yang
menjadi faktor utama pendapatan negara, tanpa berkonsultasi dengan
pemerintah Iran. Pada hakikatnya, pemerintah Iran tidak memiliki hak dan
wewenang apa pun dalam hal ini.
Pada sejak tahun 1974 dan pembentukan
perusahaan jasa perminyakan Iran OSCO, terjadi perubahan besar dalam
mekanisme pengawasan dan peran pemerintah dalam kinerja konsorsium. Akan
tetapi pada faktanya adalah bahwa sampai terjadinya Revolusi Islam,
pemerintah Iran tidak memiliki hak penuh di sektor paling vital ini.
Revolusi Islam dan Aksi Mogok Massal di Sektor Minyak
Kemarahan rakyat terhadap rezim Shah Pahlevi, meluas ke seluruh penjuru negeri. Minyak, yang industri utama dan sangat vital untuk perekonomian negara, sudah tidak mampu lagi bersabar di hadapan pengaruh luas pihak asing dan penistaan terhadap bangsa ini yang dimulai sejak penandatanganan kontrak D’Arcy.
Kemarahan rakyat terhadap rezim Shah Pahlevi, meluas ke seluruh penjuru negeri. Minyak, yang industri utama dan sangat vital untuk perekonomian negara, sudah tidak mampu lagi bersabar di hadapan pengaruh luas pihak asing dan penistaan terhadap bangsa ini yang dimulai sejak penandatanganan kontrak D’Arcy.
Akhirnya pada bulan Oktober 1978,
percikan pertama protes dan aksi mogok di wilayah-wilayah kaya minyak di
selatan terpantik dan dalam sebuah aksi terkoordinasi, para pegawai di
sektor ini secara serentak melakukan melakukan aksi mogok. Secara
gradual aksi mogok dan protes terhadap perusahaan OSCO meningkat yang
juga dikontrol oleh pihak asing.
Dengan cepat gelombang protes dan aksi
mogok meluas ke berbagai kawasan. Sektor perminyakan Iran tengah
mengambil langkah historis. Para pegawai dan buruh pernyulingan minyak
Tehran juga masuk ke jantung gerakan Revolusi Islam di Tehran. Adapun di
wilayah selatan, kondisinya tidak semudah itu. Jumlah pegawai lokal di
bidang administrasi dan lapangan di zona-zona minyak Iran, bertambah
seiring dengan pelaksanaan undang-undang nasionalisasi minyak. Selain di
sektor manajemen, nyaris semua bidang di sektor minyak Iran dipegang
oleh pegawai lokal. Oleh karena itu, pihak keamanan berusaha keras untuk
menyeret para pegawai tersebut kembali bekerja dan mereka melancarkan
berbagai tekanan hebat yang terus meningkat terhadap para pegawai dan
buruh lokal.
Tersumbatnya kran minyak Iran semakin
memperburuk kondisi dan semakin mendekatkan gerakan Revolusi Islam
kepada kemenangannya. Dikhawatirkan, rezim akan berhasil mengakhiri aksi
mogok tersebut dan dapat kembali bernafas dengan dimulainya ekspor
minyak. Jika hal itu terjadi maka semangat Revolusi Islam akan terkoyak.
Akan tetapi, para pegawai minyak di selatan bertahan dalam menghadapi
berbagai tekanan dan tetap melanjutkan aksi mereka.
Pada tanggal 27 Desember 1978, para
penguasa negara-negara Barat dan Amerika Serikat, menggelar sidang
singkat di Guadalupe, guna membahas kondisi di Iran, dan dalam
konferensi pers, media massa dunia dikejutkan dengan pengumuman bahwa
“Hari ini ekspor minyak Iran terputus total.”
Keluarnya Pihak Asing
Akhirnya seluruh wewenang dan manajemen fasilitas minyak Iran berada di tangan para pegawai Iran dan para pegawai asing untuk kedua kalinya bersiap-siap untuk meninggalkan Iran. Di kawasan yang dihuni oleh warga asing di Ahwaz, Abadan, dan seluruh kawasan di Iran, para analis Amerika dan Eropa dengan cepat mengemas seluruh perabotan mereka serta menjual kendaraan, rumah, dan vila-vila mereka agar segera hengkang dari Iran.
Akhirnya seluruh wewenang dan manajemen fasilitas minyak Iran berada di tangan para pegawai Iran dan para pegawai asing untuk kedua kalinya bersiap-siap untuk meninggalkan Iran. Di kawasan yang dihuni oleh warga asing di Ahwaz, Abadan, dan seluruh kawasan di Iran, para analis Amerika dan Eropa dengan cepat mengemas seluruh perabotan mereka serta menjual kendaraan, rumah, dan vila-vila mereka agar segera hengkang dari Iran.
Bandara Ahwaz yang sebelumya digunakan
untuk mempermudah ketibaan para analis asing, pada hari-hari itu sibuk
untuk melayani penerbangan secara silih berganti ke luar negeri dalam
rangka mempercepat proses pemulangan para warga asing.
Di pintu terakhir terakhir sebelum menuju
pesawat, seorang insinyur asal Amerika Serikat yang sedang berjalan
menuju pesawat berpaling ke arah seorang pegawai bandaran lokal berkata;
“Kita akan segera bertemu lagi kawan! Kami akan segera kembali!”
Pegawai bandara itu dengan cepat
menjawab: “Tidak untuk kali ini! Saya kita kalian tidak akan kembali
setelah ini!” (IRIB Indonesia/MZ)
Dahlan terkejut MK bubarkan BP Migas
Jakarta (ANTARA
News) - Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku kaget dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan Badan Pelaksana Minyak dan Gas
Bumi (BP Migas).
"Saya terkejut MK sebegitu cepatnya membuat keputusan membubarkan BP Migas. Untuk itu kami harus segera berkoordinasi dengan menteri terkait," kata Dahlan usai Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, terkait dugaan korupsi di PLN sebesar Rp37,6 triliun, di Gedung MPR/DPR-RI di Jakarta, Selasa.
Menurut Dahlan, dirinya sesungguhnya tidak berhak mengomentari pembubaran BP Migas tersebut, karena merupakan otoritas Kementerian ESDM.
Namun persoalannya BUMN memiliki perusahaan terkait dengan sektor migas seperti Pertamina, PGN dan lainnya.
Pembubaran BP Migas diputuskan melalui surat MK No. 36/PUU-X/2012, dengan begitu tugas dan fungsi BP dilaksanakan sementara oleh Dirjen Migas.
Pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.
Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Dahlan, atas keputusan MK tersebut dirinya akan berkonsultasi dengan pihak-pihak lain terkait, termasuk dengan korporasi BUMN.
"Putusan MK itu final berarti harus dijalankan. Bagaimana melaksanakannya saya harus konsultasi dulu," tegas Dahlan.
(R017/Y008)
"Saya terkejut MK sebegitu cepatnya membuat keputusan membubarkan BP Migas. Untuk itu kami harus segera berkoordinasi dengan menteri terkait," kata Dahlan usai Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, terkait dugaan korupsi di PLN sebesar Rp37,6 triliun, di Gedung MPR/DPR-RI di Jakarta, Selasa.
Menurut Dahlan, dirinya sesungguhnya tidak berhak mengomentari pembubaran BP Migas tersebut, karena merupakan otoritas Kementerian ESDM.
Namun persoalannya BUMN memiliki perusahaan terkait dengan sektor migas seperti Pertamina, PGN dan lainnya.
Pembubaran BP Migas diputuskan melalui surat MK No. 36/PUU-X/2012, dengan begitu tugas dan fungsi BP dilaksanakan sementara oleh Dirjen Migas.
Pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.
Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Dahlan, atas keputusan MK tersebut dirinya akan berkonsultasi dengan pihak-pihak lain terkait, termasuk dengan korporasi BUMN.
"Putusan MK itu final berarti harus dijalankan. Bagaimana melaksanakannya saya harus konsultasi dulu," tegas Dahlan.
(R017/Y008)
Editor: Suryanto
Senin, 12 November 2012
Tips Ahok untuk Kader NasDem yang Minat Jadi Anggota DPRD
Sukma Indah Permana - detikNews
Jakarta - Jadilah pemerhati kebutuhan rakyat.
Itulah tips dari Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) bagi anggota NasDem yang ingin duduk sebagai anggota DPRD DKI
Jakarta.
Tips itu diberikan Ahok saat menerima kunjungan anggota DPW DKI Jakarta di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (9/11/2012).
Ahok berpendapat Partai NasDem Jakarta dianggap berguna bagi warga Ibukota jika memperhatikan rakyat.
"Kalau Bapak-bapak berminat menjadi anggota DPRD DKI, maka mulai sekarang Bapak-bapak mulai menjadi pemerhati kebutuhan rakyat, pemerhati pelayanan publik, dan melalui akses kami mengawasi penyimpangan-penyimpangan yang ada. Tentu maka dianggap Bapak-bapak sangat berjasa," papar Ahok yang memakai kemeja batik warna coklat ini.
Rombongan Nasdem dipimpin Ketua DPW Armyn Gultom. Dalam kesempatan itu, Armyn menyampaikan 7 dorongan dan dukungan terhadap program-program pembangunan di Ibu Kota.
(aan/nrl)
Tips itu diberikan Ahok saat menerima kunjungan anggota DPW DKI Jakarta di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (9/11/2012).
Ahok berpendapat Partai NasDem Jakarta dianggap berguna bagi warga Ibukota jika memperhatikan rakyat.
"Kalau Bapak-bapak berminat menjadi anggota DPRD DKI, maka mulai sekarang Bapak-bapak mulai menjadi pemerhati kebutuhan rakyat, pemerhati pelayanan publik, dan melalui akses kami mengawasi penyimpangan-penyimpangan yang ada. Tentu maka dianggap Bapak-bapak sangat berjasa," papar Ahok yang memakai kemeja batik warna coklat ini.
Rombongan Nasdem dipimpin Ketua DPW Armyn Gultom. Dalam kesempatan itu, Armyn menyampaikan 7 dorongan dan dukungan terhadap program-program pembangunan di Ibu Kota.
(aan/nrl)
Langganan:
Postingan (Atom)