Minggu, 30 September 2012

Kemunafikan Partai Politik

Oleh Anwari WMK

Tanpa partai politik mustahil demokrasi bisa diwujudkan menjadi realitas kongkret, demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, demokrasi merupakan life system yang mendasari tegaknya keadilan. Inilah aksioma yang hampir tak terbantahkan, berlaku dari dulu hingga kini. Partai politik, dengan demikian, hadir sebagai instrumen untuk menghimpun kekuatan massa yang secara asertif berdiri tegak di garda depan perjuangan mewujudkan demokrasi. Imperatif keberadaan partai politik semaca ini analog dengan keberadaan korporasi dalam perekonomian. Tanpa korporasi, mustahil daya saing perekonomian mampu dikonstruksikan menjadi kenyataan. Jika korporasi merupakan anasir penting terwujudnya daya saing ekonomi, partai politik merupakan aspek fundamental terwujudnya demokrasi. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya mengapa di negara-negara otoriter, sistem politik berpijak pada prinsip single party. Hanya di negara-negara demokratislah benar-benar lahir dan berkembang sistem multipartai.

Dengan logika semacam itu, tampak jelas betapa sesungguhnya sangatlah penting dan strategis keberadaan partai politik. Melalui kelembagaan partai politik itulah, putera-puteri terbaik di kalangan anak-anak bangsa (the good sons and daughters of tha land) mengabdikan dirinya secara bersama, demi mewujudkan demokrasi. Sungguh mulia anak-anak bangsa yang rela menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mengelola partai politik. Pada titik ini tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa mengabdi untuk membesarkan partai politik merupakan panggilan kebangsaan. Berbagai konsekuensi dalam hal pengelolaan partai politik hingga berujung pada tercapainya kekuasaan di parlemen atau di pemerintahan, semuanya bertitik tolak dari panggilan kebangsaan. Itulah mengapa, bagi setiap tokoh partai, jabatan-jabatan politik bukanlah mata pencaharian. Pada setiap jabatan politik termaktub panggilan kebangsaan.

Tapi aneh bin ajaib, semua hal yang baru saja dikemukakan merupakan sesuatu yang indah di atas kertas. Pada prakteknya di belantara politik, tokoh-tokoh politik tak lebih hanyalah “sekawanan burung hering pemakan bangkai”. Dalam realitas hidup yang sangat kongkret, tokoh-tokoh politik yang berafiliasi dengan partai-partai politik tak lebih hanyalah monster yang begitu ambisius memburu kekuasaan—hampir tanpa titik jedah. Dan setelah kekuasaan benar-benar diraih, praksis politik disterilisasi sepenuhnya dari keniscayaan mewujudkan kedaulatan rakyat. Politik sebagai panggilan kebangsaan pun lantas berhenti sekadar sebagai kata-kata kosong tanpa makna. Pelan tapi pasti, masyarakat merasakan secara sangat kongkret sesuatu yang teramat ganjil. Betapa sesungguhnya, tokoh-tokoh partai yang berhasil meraih kekuasaan itu teralienasi dari amanat penderitaan rakyat.

Pada titik persoalan ini, Indonesia sebagai bangsa benar-benar dibenturkan dengan masalah hipokritas atau kemunafikan partai politik dalam demokrasi. Baik sebagai latar depan maupun sebagai latar belakang, hipokritas merupakan trase bagi partai politik di Indonesia untuk meluluhlantakkan dirinya sendiri. Hipokritas telah menghantarkan pengelolaan partai politik Indonesia—pada kurun waktu kontemporer—untuk mengingkari kesejatian dirinya sendiri. Hipokritas telah menggerus makna partai politik sebagai pilar penting tegaknya demokrasi. Rontoknya partai-partai politik dalam perolehan suara pada pemilu legislatif 9 April 2009, sedikit banyaknya harus disimak sebagai konsekuensi logis dari berkecamuknya hipokritas partai politik dalam demokrasi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hipokritas itu dimengerti hakikatnya?

Pertama, hipokritas partai politik dalam demokrasi dapat disimak dari peran dan fungsi partai politik. Dalam konteks ini, peran dan fungsi partai politik diciutkan secara dramatis untuk sekadar menjadi biduk dan atau wahana perburuan kekuasaan. Tatkala kenyataan buruk semacam ini kian menguat menjadi habitus, maka “logis” manakala partai politik bermetamorfosis menjadi wahana dagang sapi kekuasaan. Apa boleh buat, dengan nada getir harus dikatakan, bahwa partai di Indonesia gagal mengusung cita-cita politik menuju terwujudnya kemaslahatan kolektif. Dalam penghadapannya dengan masyarakat, partai politik malah menjadi bagian dari karut marut pemerintahan.

Kedua, hipokritas partai politik dalam demokrasi berjalin kelindan dengan tindakan destruktif kalangan partai politik. Apa yang penting kita catat sebagai sesuatu yang buruk adalah ini: Partai politik mengembangkan mekanisme pertahanan diri berupa pengingkaran dan pengabaian terhadap janji-janji politik. Padahal, janji-janji politik itu semula dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat. Apa yang diucapkan sebagai janji politik selama musim kampanye pemilu, misalnya, hampir pasti tak disertai oleh dasar-dasar moralitas untuk dipenuhi melalui kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Janji politik selama musim kampanye pemilu dikemukakan semata demi meraup sebanyak mungkin dukungan suara dari rakyat. Inilah hipokritas yang mengambil titik tolak dari perlucutan asas resiprokalitas terhadap rakyat yang telah terlibat aktif dalam cash the ballot di bilik-bilik suara di hari pemilu.

Ketiga, partai politik merupakan liabilitas tatkala muncul tuntutan agar partai politik melakukan pembaruan politik secara mendasar. Dengan pembaruan politik, Indonesia menelaah secara kritis peran dan kedudukannya berhadapan dengan negara-negara lain di dunia. Muncul urgensi agar partai politik memerhatikan secara sungguh-sungguh kebertekuk lututan Indonesia berhadapan dengan negara-negara lain. Segenap realitas yang melingkupi seluruh aras hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga—seperti Singapura dan Malaysia—sedemikian rupa memosisikan Indonesia sebagi underdog. Pada era Orde Baru, Indonesia memang dihormati sebagai the big brother di Asia Tenggara. Namun setelah itu, Indonesia dilecehkan oleh negara yang lebih kecil seperti Singapura dan Malaysia. Meminjam frase yang secara sengak sering diucapkan Amien Rais, Indonesia pada akhirnya menjadi salah satu provinsi bagi Singapura. Realitas ini merupakan akibat logis dari pergeseran posisi partai dari aset menjadi liabilitas, atau dari berkah menjadi beban. Partai politik gagal mengembangkan cetak biru politik bebas aktif—sebagaimana termaktub dalam konstitusi—yang relevan dengan perkembangan abad XXI.

Keempat, hipokritas partai politik mengambil titik tolak dari pragmatisme yang begitu telanjang demi memenangi sengitnya pertarungan politik. Dalam pemilu presiden 8 Juli 2009, pimpinan partai-partai politik membebaskan kadernya memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mana pun. Terutama bagi partai yang tak mengusung capres-cawapres sendiri—seperti PAN, PBB dan PPP—arahan pimpinan partai-partai politik merupakan sebuah ambigu. Arahan ini bertolak belakang dengan opsi dewan pimpinan pusat partai yang telah menetapkan memilih capres dan cawapres tertentu. Hipokritas dalam konteks ini ditandai oleh timbulnya kontradiksi antara sikap resmi partai di satu pihak, dan pilihan bebas kader partai di lain pihak.

Jika hipokritas yang dibentangkan di atas berlarut-larut, maka sempurnalah partai politik sebagai kawah candradimuka lahirnya politisi-politisi tak berkarakter. Jika situasi tersebut tak terkoreksikan secara total, maka ke depan, partai politik bermetamorfosis menjadi “mesin” yang hanya melahirkan politikus plintat-plintut. Sudah saatnya, perjalanan demokrasi bangsa ini dilengkapi oleh upaya falsifikasi secara kritis terhadap keberadaan partai politik. Sudah saatnya kita mengembangkan pesimisme konstruktif terhadap eksistensi partai-partai politik. Bangsa ini terlalu bermakna jika diposisikan sebagai tumbal pengelolaan partai politik yang ugal-ugalan.

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 130, 2009.

Cerita Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI

Masih ingat dengan film Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI? Selama masa kepresidenan Soeharto, film berkisah penculikan serta pembunuhan tujuh jenderal revolusi itu selalu diputar pada 30 September oleh Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Satu korban yang menjadi sasaran pembantaian adalah Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan atau D.I. Panjaitan. Dan putrinya, Catherine Panjaitan, menjadi saksi mata penculikan itu.

Pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, Catherine menceritakan kejadian malam berdarah itu. Ingatan itu tertuang dalam tulisan berjudul, Kisah-kisah Oktober 1965. Bagi Anda yang sempat menonton filmnya pasti melihat adegan putri D.I Panjaitan membasuhkan darah sang ayah ke mukanya. Tapi benarkah Chaterine melakukan hal itu?

“Saya melihat kepala Papi ditembak dua kali,” Catherine mengisahkan. “Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papi..., Papi...." Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada.”

Kata Catherine, penculikan terjadi sekitar pukul 04.30, pada 1 Oktober 1965. Kala itu, ia tengah tidur di kamar lantai dua. Kemudian terbangun karena teriakan dan tembakan. Catherine mengintip ke jendela. Ternyata telah banyak tentara berseragam lengkap di perkarangan rumah. “Beberapa di antaranya melompati pagar, sambil membawa senapan,” kata Catherine.

[

Panik, ia lari ke kamar ayahnya. Yang dicari sudah terbangun dari tidur. Mereka pun berkumpul di ruang tengah lantai atas. Kata Catherine, almarhum papinya terus mondar-mandir, dari balkon ke kamar. Dia sempat mengotak-atik senjatanya, semacam senapan pendek.

Catherine sendiri sempat bertanya pada ayahnya soal apa yang terjadi. Tapi sang jenderal bergeming. Sedangkan di lantai bawah, bunyi tembakan terus terdengar. Televisi, koleksi kristal Ibu Panjaitan, dan barang lainnya hancur. Bahkan meja ikut terjungkal. “Tiarap…tiarap,” kata Catherine menirukan ayahnya.

Sebelum menyerahkan diri ke tentara, mendiang Panjaitan sempat meminta Catherine menelepon Samosir, asisten Jenderal S. Parman. Usai itu, Catherine menghubungi Bambang, pacar sahabatnya. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel telepon diputus.

Berseragam lengkap, kemudian D.I. Panjaitan turun ke ruang tamu. Seorang berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat," Tapi Panjaitan hanya mengambil topi, mengapitnya di ketiak kiri. Tak diacuhkan begitu, si tentara memukul Panjaitan dengan gagang senapan, hingga ia tersungkur. Setelah itu, kejadian bergulir cepat. Dor! Dor! “Darah menyembur dari kepala Papi,” kata Catherine.

sumber: tempo.co

Kamis, 27 September 2012

GUS DUR in Kick Andy



Bakaco - Rindu Gus Dur, Dengarkan Syairnya

 M. Khusen Yusuf (kompasiana)
Bulu kuduk saya merinding setiap kali mendengar lantunan syair (alm) Gus Dur. Ada rasa takjub, serasa terhipnotis, dan membuat saya enggan untuk melewatkan setiap baitnya sampai akhir.
Suaranya tak merdu, memang. Serak, datar, dan tidak mendayu seperti lazimnya syair yang dilantunkan penyanyi profesional ataupun ustadz cum selebriti yang kerap berkhutbah di layar kaca. Tapi ketakmerduan itu seakan hilang ditelan kharisma si empunya suara.
Syiir Gus Dur mengajarkan banyak nilai ideal bagi manusia dalam memahami agamanya–Islam. Bahwa Islam bukan hanya soal syariat, bukan pula sekedar aturan ritual formal keagamaan, tapi ia juga mencakup mengenai pendalaman akan ke-ma’rifat-an, thoriqoh, dan hakekat agama yang paling inti.
Bagi Gus Dur, seseorang dicap tinggi derajat keagamaannya bukan karena ia mampu menghapal Qur’an dan ribuan hadits; bukan pula dengan kecakapannya membaca, menulis, maupun berdebat mengenai soal-soal keagamaan. Seseorang bisa mencapai derajat yang tinggi jika ia mampu mrnjaga hati dan pikirannya tetap jernih, tidak gampang terbujuk hawa nafsu dan gemerlap dunia..
Bagi Gus Dur, menghafal Qur’an dan Hadits akan terasa sia-sia jika kita dengan mudah mengkafirkan saudaranya sendiri hanya karena berbeda sudut pandang pemahaman keagamaan.
Langgam syiir Gus Dur cukup sederhana. Isinya pun tak membuat kita mengerutkan kening. Mudah dipahami oleh siapa saja–tentu yang paham bahasa Jawa.. Kalaupun tidak, andapun boleh mendengarkan suara serak Presiden keempat RI itu dan rasakan magnetnya.
Selamat mendengarkan, melantunkan, dan meresapi maknanya…
Syair Gus Dur
Ngawiti ingsun nglaras syi’iran
Kelawan muji marang pengeran
Kang paring rohmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo pitungan
Saya memulai menembangkan syi’ir
dengan memuji kepada Tuhan
yang memberi rahmat dan kenikmatan
siang dan malam tak terhitung
Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mung ngaji syareat bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sengsoro
wahai kawan-kawan, pria dan wanita
jangan hanya belajar syaria’at semata
hanya pandai bicara, menulis, dan membaca
esok hari bakal sengsara
Akeh kang apal Qur’an Haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale
banyak yang hafal Qur’an dan Haditsnya
senang mengkafirkan yang lain
kafirnya sendiri tak dihiraukan
jika masih kotor hati dan akalnya
Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyar ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nisto
gampang terbujuk nafsu angkara
Dalam hiasan gemerlap dunia
iri dan dengki kekayaan tetangga
maka hatinya gelap dan nista
Ayo sedulur jo nglaleake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake iman tauhide
Baguse sangu mulyo matine
ayo saudara jangan melupakan
kewajiban mengaji lengkap dengan aturannya
untuk mempertebal iman tauhidnya
bagusnya bekal mulia matinya
Kang aran sholeh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku torekot lan ma’rifate
Ugo haqiqot manjing rasane
yang disebut sholeh adalah bagus hatinya
karena mapan lengkap ilmunya
menjalankan tarekat dan ma’rifatnya
juga hakikat meresap rasanya
Al Qur’an qodim wahyu minulyo
Tanpo tinulis biso diwoco
Iku wejangan guru waskito
Den tancepake ing jero dodo
Al Qur’an Qodim wahyu mulia
tanpa ditulis bisa dibaca
itulah petuah guru mumpuni
ditancapkan di dalam dada
Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mukjizat Rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman
menempel di hati dan pikiran
merasuk dalam badan dan seluruh hati
mukjizat Rasul (Al Quran) jadi pedoman
sebagai jalan masuknya iman
Kelawan Allah kang moho suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadhohi
Dzikir lan suluk jo nganti lali
Terhadap Allah yg Maha Suci
harus rangkulan (mendekatkan diri) siang dan malam
Menjalani tirakat dan melakukan riyadhah
Dzikir dan suluk jangan sampai lupa
Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo senajan pas-pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran
hidupnya tentram merasa aman
mantabnya rasa tandanya beriman
sabar menerima meski pas-pasan
semua itu adalah takdir dari Tuhan
Kelawan konco dulur lan tonggo
Kang podo rukun ojo dursilo
Iku sunahe Rosul kang mulyo
Nabi Muhammad panutan kita
terhadap teman, saudara, dan tetangga
yang rukun jangan bertengkar
itu sunnahnya Rasul yang Mulia
Nabi Muhammad tauladan kita
ayo nglakoni sakabehane
Allah kang bakal ngangkat drajate
Senajan asor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate
ayo jalani semuanya
Allah yang akan mengangkat derajatnya
Meski rendah tampilan luarnya
namun mulia maqom derajatnya
lamun palastro ing pungkasane
ora kesasar roh lan sukmane
den gadang Allah swargo manggone
utuh mayite ugo ulese
Ketika ajal telah datang di akhir hayatnya
tidak tersesat roh dan sukmanya
dirindukan Allah Surga tempatnya
utuh jasadnya juga kain kafannya

Bakaco - Gus Dur, komunis dan Suharto



Selasa, 25 September 2012

Bakaco - Penistaan Islam Lewat Film ‘Innocence of Muslims’ Adalah Kebiadaban Total

INDONESIA KATAKAMI

Islam is not our enemy

Jakarta, 14 September 2012 (KATAKAMI.COM)  —  Dunia Islam sedang sangat murka dan terguncang saat ini akibat sebuah film yang berjudul : “Innocence of Muslims”
Seperti yang diberitakan REPUBLIKA (14/9/2012), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengutuk keras film “Innocence of Muslims” yang menghina Nabi Muhammad SAW dapat diunggah di laman “youtube”.
Namun demikian, kata Said Aqil di Jakarta, Kamis (13/9/2012)), film tersebut tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi dengan tindakan yang justru kontra produktif.
“Dari dulu sampai sekarang, selalu ada orang yang tidak suka kepada Rasulullah, tetapi kita jangan sampai menghabiskan energi untuk itu, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa,” katanya.
Kiai bergelar doktor alumni Universitas Ummul Qura, Mekkah itu menegaskan, Nabi Muhammad SAW merupakan figur yang mulia dan sempurna.”Allah akan menjaga nama baik beliau, baik ketika masih hidup atau sesudah wafat,” kata Said Aqil.
Dikabarkan, “Innocence of Muslims” merupakan film amatir yang dibuat oleh ekspatriat koptik Mesir yang menetap di Amerika Serikat. Film tersebut selanjutnya diunggah di “youtube” dalam versi bahasa Arab yang akhirnya memicu kemarahan umat Islam di Libya dan Mesir.
Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menyatakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam aneka bentuk tindakan penistaan agama, termasuk yang beredar melalui video beberapa waktu ini. “Presiden juga sudah menyampaikan reaksi cepatnya atas rencana Pendeta Terry Jones, pada waktu itu, yang ingin melecehkan Al-Quran,” kata Faizasyah, di Kantor Presiden, Kamis 13 September 2012, seperti yang diberitakan media.
Menurut Faizasyah, pembuatan dan penayangan film yang menistakan agama, melalui video Innocence of Muslims, seharusnya bisa dihindarkan. Terutama, bila menelaah kontroversi yang ditimbulkan dalam kasus-kasus penistaan agama yang lalu, termasuk kasus kontroversial yang terjadi di Florida.
“Penayangan film yang tidak bertanggung jawab tersebut, telah menimbulkan amarah dan tindak kekerasan yang sejatinya pun tidak bisa ditolerir,” kata mantan juru bicara Kementerian Luar Negeri ini.


Islam

Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon mengecam film anti-Islam “Innocence of Muslims” yang menurutnya, disengaja untuk menimbulkan kefanatikan dan pertumpahan darah.
Dikatakan juru bicara PBB, Vannina Maestracci, Ban mengaku sangat terganggu akan pecahnya aksi kekerasan anti-Amerika di Libya dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang dipicu oleh film amatir yang dibuat di AS tersebut.
“Tak ada yang bisa membenarkan pembunuhan dan serangan-serangan tersebut. Dia (Ban) mengecam film kebencian ini yang tampaknya telah disengaja untuk menimbulkan kefanatikan dan pertumpahan darah,”ungkap Maestracci seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (14/9/2012).
“Di saat ketegangan yang meningkat ini, Sekjen meminta untuk tenang dan menahan diri, serta menekankan perlunya dialog, saling menghormati dan memahami,” kata juru bicara PBB tersebut.
Tahta Suci Vatikan juga lebih dulu mengutuk hasutan benci Muslim dan kekerasan ikutannya setelah serangan mematikan atas konsulat Amerika Serikat di Libya akibat film menyinggung Islam.
Kutukan ditujukan pada pembuat dan penyebar Innocence of Muslims, yang berujung pada kematian Duta Besar Amerika Serikat untuk Libya, Christopher Stevens, di Benghazi. Libya.
“Dampak berbahaya pelanggaran dan hasutan terhadap kepekaan umat Islam sekali lagi jelas,” kata juru bicara Vatikan, Federico Lombardi, dalam pernyataannya.
“Tanggapan akibatnya, kadang-kadang dengan hasil menyedihkan, pada gilirannya memelihara ketegangan dan kebencian serta melepaskan kekerasan,” katanya
“Menghormati keyakinan, naskah, angka dan lambang berbagai agama adalah prasyarat penting bagi kehidupan damai masyarakat,” tambahnya.
Terkait insiden tewasnya diplomatnya, hari Rabu (12/9/2012) lalu Presiden Amerika Serikat Barack Obama bersumpah akan membawa para pelaku pembunuhan duta besar AS untuk Libya.
Obama mengatakan pada para wartawan bahwa serangan terhadap konsulat Amerika di Benghazi itu tidak akan memutuskan ikatan antara AS dan pemerintah Libia yang baru.
Berbicara di Rose Garden di Gedung Putih, Obama mengatakan, “Keadilan akan ditegakkan.”
Tak Cuma Vatikan, seorang pemuka agama Israel juga mengeluarkan kecaman.
Rabi Ortodoks dan mantan menteri Israel, Rabu, mengutuk film menyinggung Islam, Innocence of Muslims, yang memicu unjuk rasa mematikan benci Amerika Serikat di Libya dan Mesir, dengan menyebutnya sampah dan lendir.
“Meskipun kebebasan mengungkapkan pendapat dan hak menggunakan sindiran adalah prinsip kudus demokrasi, kebebasan itu tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menyiarkan sampah dan lendir,” kata pernyataan Michael Melchior, pembela lama dialog antar-agama.
“Film Sam Bacile, yang menyebut diri Yahudi dan orang Israel, itu disiarkan di bawah kedok perang melawan teror, yang sebenarnya film menginjak-injak iman dan martabat ratusan juta Muslim, dan Nabi Muhammad, dengan cara paling merendahkan dan jelek,” tambahnya.
Di film anggaran rendah itu, Innocence of Muslim, aktor dengan logat kuat Amerika Serikat menggambarkan Muslim tidak bermoral dan memuja kekerasan.
Dengan penggambaran kehidupan Nabi Muhammad, film itu menyentuh hal sangat tidak patut serta memicu unjukrasa di Mesir
Film itu dibuat orang Amerika-Israel, Sam Bacile, kata Wall Street Journal. Kementerian dalam negeri Israel menyatakan tidak menanggapi tentang setiap orang memegang kewarganegaraan Israel.
“Sebagai seorang Yahudi dan rabi Israel, saya malu atas gaya dan bahasa merendahkan film itu,” kata Melchior, mantan menteri urusan sosial dan wakil menteri luar negeri. ”Itu bertentangan dengan hakikat Taurat Israel.


Pemimpin Tertinggi di Iran Ayatullah Ali Khamenei

Lalu, Kecaman terhadap film ini juga datang dari Pemimpin Tertinggi di Iran Ayatullah Ali Khamenei.
Pemuka Islam dunia ini mengatakan bahwa, tersangka utama yang berada di balik pembuatan film itu negara-negara tertentu.
Juru bicara Perdana Menteri Iran, Ramin Mehmanparast menyatakan, Republik Islam Iran mengutuk dengan keras film yang menistakan figur Nabi Muhammad SAW itu. Ia juga mengecam pembiaran sistemik yang dilakukan Washington.
“Film itu untuk menebarkan Islamophobia,” kata dia seperti dilansir Press TV, Rabu (12/9/2012).
Begitu juga reaksi dari Presiden Afghanistan Hamid Karzai.
Karzai mengatakan, film buatan ekstremis Kristen Koptik AS itu telah memicu permusuhan dan konfrontasi relijius dan kultural di dunia.
Ia bahkan sampai menunda kunjungannya ke Norwegia untuk menenangkan rakyat Afghanistan yang marah besar atas dirilisnya film tersebut.
Di Mesir, pemerintah setempat turut mengutuk film itu. Pemerintah Mesir menyatakan, “Film tersebut tidak bermoral dengan menyerang kesakralan Nabi.
Ketua Parlemen Iran Ali Larijani juga menyebut film itu sebagai film “menjijikkan” dan menunjukan kebohongan AS yang selama ini mengklaim diri sebagai negara pendukung pluralisme.
“Bila politisi AS jujur, mereka tidak akan ikut campur dalam hal ini. Mereka bertanggung jawab untuk menangkap pelaku kejahatan ini dan pendukungnya, ujar Pemerintah Iran, seperti dikutip IRNA, Jumat (14/9/2012).


Tasbih

Memang, ada banyak cara bagi orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, untuk mengusik ketenangan hati dan jiwa dari umat beragama di berbagai belahan dunia.
Kali ini, Islam yang jadi bidikan untuk dipancing emosinya.
Patut diduga, pihak yang sebenarnya ada di belakang layar dari ide pembuatan film ini, adalah pihak yang sesungguhnya sadar bahwa perbuatan mereka adalah sebuah kebiadaban total.
Tetapi, memang itulah motif dan tujuan dari kebiadaban yang mereka terapkan.
Harus ada reaksi.
Harus ada  emosi.
Harus ada caci maki.
Itu yang tampaknya memang dicari, dipancing, ditunggu dan merupakan tujuan besar dari penghinaan ini,
Sebab, barangkali orang-orang yang ada di balik film ini beranggapan bahwa reaksi sangat KERAS dari dunia (Islam) akan menjadi bagian dari kesuksesan dari provokasi yang mencabik-cabik iman dan keyakinan beragama dari umat Islam yang ada didunia jika Nabi serta agama mereka dinistakan.
Beberapa tahun silam semasa hidupnya, Almarhum Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah mengatakan dalam sebuah percakapannya dengan seorang sahabatnya yang kebetulan berprofesi sebagai jurnalis.
“Islam adalah sebuah agama yang mengajarkan kasih sayang. Sesungguhnya, Islam tak pernah mengajarkan kekerasan kepada umatnya. Sebab Islam, sungguh-sungguh merupakan sebuah ajaran yang berisi tentang kasih sayang, kebenaran dan keberanian”.
Gus Dur benar …
Islam, termasuk juga Kristen dan agama-agama lainnya, pastilah mengajarkan kebaikan, kebenaran dan kasih sayang yang tulus terhadap Sang Pencipta dan umat manusia.
Jadi, baik rasanya, kalau kita tak perlu sangat emosional menanggapi kebiadaban total ini.
Sebab, penistaan terhadap sebuah agama dan ajaran-ajarannya, termasuk gangguan apapun menyangkut kebebasan beragama, sungguh merupakan sebuah kejahatan sangat menjijikkan. (*)



MS

Bakaco - Catatan Ringan Di Sabtu Pagi


Catatan Ringan Di Sabtu Pagi :
Dari Sjahrir sampai Kyai Dasuki

Oleh Anton

Selain buku ‘The Future Games’ karya Teweles and Jones yang dalam sebulan ini belum selesai-selesai dibaca. Ada beberapa buku selingan yang sudah diselesaikan salah satunya adalah dua buku catatan tajuk Mochtar Lubis dan catatan harian Sutan Sjahrir. Dua buku ini sebenarnya buku terbitan lama. Sekedar catatan untuk catatan harian Sutan Sjahrir saya sering melihat dipajang di Gramedia Blok M sejak saya masih SMA awal tahun 90-an. Ada yang menarik tentang Sutan Sjahrir dan Mochtar Lubis. Yaitu sama-sama menginginkan manusia rasional, modern dan berpikiran maju di Indonesia. Namun berkiblat ke barat.

Catatan Harian Sutan Sjahrir

Awal saya mengenal Sutan Sjahrir justru dari tulisan Harry Poetze , dimana peran Djohan Sjahruzah (tokoh PSI, keponakan Sjahrir) sangat besar dalam mengenalkan alam pemikiran Sjahrir ke pada Poetze, namun di buku Poetze bagi saya sangat gersang jiwa
Sastra dari tulisan Poetze kurang hidup. Justru pada catatan harian Sjahrir ‘Renungan dan Perjuangan’ kita bisa mengenal sosok Sjahrir yang humanis. Tidak kering seperti Hatta, namun tidak juga berkobar bagai Sukarno. Membaca Sjahrir tentunya kita akan ingat tentang pamfletnya yang terkenal : “Perdjoangan Kita”. Pamflet “Perdjoangan Kita” ini bagi sebagian orang sebagai masterpiece-nya, dan ini sama saja dengan buku ‘Alam Pikiran Yunani’ dan artikel ‘Demokrasi Kita’ –nya Hatta, atau ‘Indonesia Menggugat-nya Sukarno. Pamflet ‘Perdjoangan kita’ mempunyai tiga isi pokok yang kemudian isinya ini sangat mempengaruhi sejarah negeri ini. Isi itu adalah :

1. Jangan sampai Indonesia merdeka jatuh ke tangan unsur-unsur radikal
2. Menghapuskan mentalitas fasis yang ditanamkan oleh Jepang
3. Memperoleh kepercayaan luar negeri.

Selain unsur yang ketiga yang merupakan sebuah strategi jangka pendek diplomasi RI. Dua unsur pertama dan kedua, merupakan tragedi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Karena kedua unsur inilah yang menjadi mesin sejarah utama bangsa ini bergerak. Tarik menarik antara kekuatan radikal (Tan Malaka, TNI Masyarakat, PKI dua versi dan Islam Radikal), moderat (Unsur Sjahrir/PSI, Profesional ala Djuanda), karismatis (Sukarno) dan Tentara profesional (Ala Nasution, kemudian menjadi tentara tangsi ala Suharto) menjadi cerita sejarah paling utama di negeri ini, yang kemudian berpuncak pada tragedi pembantaian besar-besaran sepanjang 1965-1966. Matinya kemanusiaan di Indonesia karena pembantaian raksasa yang dilakukan militer dengan bantuan ormas pro Suharto terhadap kelompok PKI dan Sukarnois, kebetulan juga bersamaan dengan wafatnya Sjahrir di Swiss Sjahrir tanggal 9 April 1966. Di sekitar tanggal itu Sukarno bagai banteng ketaton pidato disana sini untuk mempertaruhkan jabatannya yang diam-diam sudah diserang kelompok Suharto. Di hari kematian Sjahrir, Sukarno langsung menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Sutan Sjahrir. Padahal sehari sebelumnya Sjahrir merupakan tawanan politik pemerintahan Sukarno. Apakah dengan ini kita ingat akan kasus HR Dharsono, yang di jaman Suharto mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata saja dilarang?

Humanisme Sjahrir bisa dibaca pada tulisan GM di bukunya ‘Setelah Revolusi Tak Ada Lagi’ yang saya kira GM banyak mengambil dari buku catatan harian Sutan Sjahrir ini. GM menulis di buku itu tentang Sjahrir pada hal. 31 dengan tajuk ‘Sjahrir di Pantai’. Tulisan ini sungguh manis untuk mengantarkan kita pada kisah catatan harian Sutan Sjahrir yang banyak ditulis ketika ia dibuang ke Banda Neira oleh pemerintahan Hindia Belanda setelah sebelumnya ia merasakan ganasnya Digoel. Begini kata-kata GM :

“Saya membayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon dan beberapa jam sesudah itu bom dijatuhkan. Saya membayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, setelah sebuah pesawat MD-Catalina yang bisa mendarat di permukaan berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk. Tak lama kemudian kapal terbang kecil itu pun berhenti di sebuah bagian pantai yang datar. Ko-pilot pesawat, seorang perwira Belanda yang kurus, turun ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada waktu satu jam untuk bersiap.

Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berusia tiga tahun. Sampai di dekat pesawat sebuah problem harus dipecahkan : Ruang di Catalina itu terbatas Enam belas kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Ketiga kotak buku itu tak jadi dibawa - untuk selama-lamanya – kecuali bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam kopor pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.

(GM, Ketika Revolusi Tak Ada Lagi, Alvabet 2004)

Disini karakter Sjahrir terlihat sebagai pecinta kehidupan, pecinta keriangan masa kanak-kanak beda dengan Hatta yang kering, disiplin dan kaku. Sjahrir adalah jiwa yang hidup. Mungkin inilah yang menyamakan dirinya dengan Sukarno, tapi sekaligus melemparkannya ke dalam perbedaan yang tajam dengan Sukarno. Sepanjang sejarahnya Sjahrir adalah lawan politik Sukarno yang paling kuat dan berpengaruh.

Yang menarik dari catatan Sjahrir ini adalah pendapatnya tentang intelektualitas dan sastra, yang ditulisnya pada 20 April 1934 di penjara Cipinang. Satu baris kutipannya yang menarik adalah :

“Sebab itu pada hematku, kurang adanya kehidupan ilmiah dan minat yang sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan diantara kaum intelektual kita di Indonesia ini, bukan terutama disebabkan karena kita kurang mampu, kurang berkepribadian atau karena ada kekosongan moral, melainkan karena belum cukup ada perangsang-perangsang yang diperlukan di dalam masyarakat kita yang untuk sementara jauh lebih sederhana ini. Bagi kebanyakan “pemegang-pemegang titel” di Indonesia – kupakai perkataan ini akan pengganti istilah “orang intelektual”, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama pada terutama tingkat kehidupan intelektual, melainkan kehidupan sekolah –Ilmu pengetahuan itu tetap yang lahiriah saja dan bukan kekayaan batiniah. Bagi mereka ilmu pengetahuan tetap sebagai barang yang mati, bukan sesuatu hakekat yang hidup, yang berkembang dan senantiasa harus dipupuk dan dipelihara. Tetapi ini bukan salah mereka, terutama apabila mereka itu tidak mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan itu sebagai suatu pengertian yang hidup, yakni di Eropa sendiri”.

(cuplikan catatan harian Sjahrir, Renungan Dan Perjuangan hal. 5-6, Djambatan)

Sjahrir menulis problem intelektualitas itu tahun 1934 dan ini merupakan pemikiran masalah Indonesia yang jangkauannya jangka panjang. Bayangkan sampai detik ini (April 2008) ini saja problem intelektualitas belum sepenuhnya ‘genah’. Bahkan beberapa bulan lalu ada move dari Partai Demokrat dan Golkar untuk menjegal Megawati dengan menggunakan gelar sarjana sebagai ukuran kematangan intelektualitas. Jelas ini akan menjadi tertawaan bagi Sjahrir seandainya Sjahrir berada dalam ruang sejarah sekarang. Intelektualitas adalah sesuatu yang hidup....begitu pikir Sjahrir, disini makna ‘hidup’ adalah kita terus mencari tahu terhadap pertanyaan-pertanyaan yang timbul. Sudah menjadi jamak bagi kita setelah selesai sekolah maka kita menutup buku selama-lamanya, enggan membaca apalagi studi sendiri. Kita kerap terjebak pada ukuran-ukuran gelar akademis, namun tidak mau menjebakkan diri pada pertanyaan-pertanyaan yang menajamkan intelektualitas. Pertanyaan-pertanyaan pada diri kita sendiri kemudian kita mencarinya dari studi-studi kita maka disitulah intelektualitas kita dilatih untuk hidup.

Tentang Sastra, Sjahrir juga mengungkapkan di hari yang sama 20 April 1934. Begini kutipannya :

“Lagipula aku tahu dari pengalamanku sendiri bahwa belajar dengan sungguh-sungguh bagi kita orang Indonesia di negeri Belanda tidak begitu gampang. Iklim dan masyarakat kita di negeri itu kadang-kadang amat mempengaruhi saraf kita. Hidup terkurung ke dalam tembok di dalam kamar-kamar yang pengap, suasana gelisah dalam pergaulan hidup, semua itu sangatlah besar pengaruhnya bagi jiwa kita, ada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berbakat yang gagal dalam studi mereka, semata-mata karena mereka tidak berdaya menghadapi semua itu; mereka memboroskan energi dalam kegelisahan itu sehingga jasmani pun menjadi rusak.

Kutunjukkan pada bahaya-bahaya itu kepada adikku dan kutegaskan pula bahwa belajar dengan cara yang baik, sekaligus membentuk watak kita, karena untuk belajar diperlukan pengekangan diri sendiri, disiplin diri sendiri. Kunasehati dia supaya memberikan dia supaya memberikan perhatian pada kehidupan kultural di Eropa, terutama kesusastraannya. Selain ia akan mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang kehidupan dan dunia pikiran barat, pun dengan demikian matanya akan terbuka terhadap masalah-masalah kehidupan yang ada disana; terhadap keanekaragaman dan kemuskilan hidup disana. Juga dengan demikian ia akan belajar kenal masalah-masalah sosial politik dengan cara yang lebih gampang dan menarik.

Kepada M kutulis pula surat untuk menolongnya dalam hal itu sedapat-dapatnya. Bahwa ia masih memerlukan bimbingan serupa itu, bukan suatu hal yang luar biasa : yang dapat disebut kaum intelektual di negeri kita, pada umumnya yang masih buta huruf dalam bidang ini. Mereka tidak membaca kecuali bacaan vak mereka sendiri, surat kabar dan kadang sedikit bacaan hiburan. Dalam seluruh perpustakaan H, misalnya terdapat hanya sebuah roman saja, dan tentang itupun dia memberikan penjelasan – seolah hendak membersihkan diri – bahwa itu dihadiahkan orang kepadanya. Padahal tak disangkal ia termasuk puncak golongan intelektual kita yang dididik di Eropa.

Hal ini sesungguhnya sudah menggambarkan pula keadaan kesusastraan kita. Sebenarnya boleh dikatakan bahwa belum ada orang intelektual yang menulis dalam arti yang sebenarnya di negeri kita ini. Tidak ada kesusastraan, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam satu bahasa daerah yang banyak itu. Tentu saja ada juga orang menulis malahan tidak sedikit jumlahnya. Ada suatu lembaga yang bernama Instituut voor de Volksclectuur (kemudian bernama Balai Pustaka) yang menerbitkan buku-buku rakyat banyak, kebanyakan terjemahan. Ada juga tulisan-tulisan asli, tapi belum bisa dimasukkan ke dalam kategori kesusastraan. Kita baru sampai pada menulis cerita-cerita. Di Indonesia – tentu ada juga beberapa kekecualian – orang pada umumnya tidak tahu tentang adanya suatu kesusastraan Eropa, suatu kesusasstraan dunia, jadi orang pun tidak mempelajarinya.

Sebab itulah umpamanya usaha-usaha bebeberapa orang nasionalis muda untuk menulis karya sastra –meskipun usaha itu diproklamirkan sebagai renaissance, kebangkitan kembali pada saat ini ternyata belum cukup bermutu untuk bisa menarik perhatian. Tingkatannya terlalu masih rendah untuk itu; bahkan didalamnya boleh dikatakan tidak ada pemikiran, tidak ada bentuk, tidak ada nada, dan yang paling parah tidak ada kesungguhan dan kejujuran yang cukup. Yang ada hanya pekerjaan bikinan yang tidak bermutu, yang dipropagandakan dengan banyak reklame.

Padahal tanpa kesusastraan roman, juga tidak ada ungkapan-ungkapan tentang masalah hidup, dan oleh karena itu pula kurang ada pengetahuan tentang peri kehidupan. Seorang keluaran HBS (Hogere Burger School, SMA- Anton) anak muda berumur 17-18 tahun di Eropa, kadang-kadang tahu lebih banyak tentang kehidupan daripada banyak orang intelektual, mahasiswa atau mereka yang sudah tamat sekolah, di negeri kita.

(cuplikan catatan harian Sjahrir, Renungan Dan Perjuangan hal. 6-7, Djambatan)


Disini saya bisa melihat kesadaran intelektual Sjahrir yang mampu menghubungkan segala bentuk dimensi pemikiran dan ilmu pengetahuan untuk dijadikan rangkaian-rangkaian yang memperluas pemahaman manusia. Banyak dari kita yang merasa sudah ahli dalam satu bidang, malah tidak peduli dengan bidang yang lain. Bahkan sering dialami seorang anak kecil dilarang orang tuanya untuk membaca novel atau komik atau karya sastra yang dianggap buang-buang waktu dan hanya disuruh belajar Matematika saja atau ilmu pengetahuan lain yang sifatnya lebih eksak. Padahal sastra dan musik memiliki rangsangan intelektual seseorang. Orang yang mampu mencerna bacaan-bacaan sastra dengan baik dan mampu meng-imajinasikan di dalam kepalanya, lebih mampu berpikir abstrak dan menggabung-gabungkan berbagai peristiwa dengan cara yang indah. Hingga pemahaman dunia tidak melulu hanya satu dimensi saja. Bacaan-bacaan sastra akan merangsang imajinasi seseorang, sehingga bila ia belajar sesuatu maka akan lebih efektif bila menggabungkan imajinasi dengan logika yang digampang dimengerti. Disinilah Sjahrir memberikan benih-benih kesadaran betapa pentingnya sastra dalam kehidupan intelektual seseorang.

Saya sendiri adalah orang yang sangat yakin bahwa jaman bisa dibaca melalui sastranya ketimbang dengan penelitian fakta-fakta yang cenderung kering. Karena dengan sastra kita bisa segera menangkap zeitgeist (semangat jaman) dari sebuah era. Dalam hal ini saya tidak sependapat dengan Mochtar Lubis yang menolak bahwa karya sastra tidak bisa dijadikan rujukan sejarah. Saya bisa menangkap pesan-pesan perang kemerdekaan justru ketika saya membaca cerita ‘Hujan Kepagian’ karangan Nugroho Notosusanto atau ‘Bukan Pasar Malam’ karangan Pram. Saya bisa menangkap pesan gemuruh kebingungan manusia Indonesia terhadap arus Orde Baru justru dari tulisan-tulisan GM ketimbang saya harus membaca bacaan kering tentang ‘akselerasi pembangunan 25 tahun karya Ali Moertopo’.Dan pesan-pesan kegelisahan pembangunan bisa digambarkan lewat kutang-kutang yang berkibaran pada bait-bait puisi WS Rendra ketimbang saya harus membaca jurnal statistik keluaran BPS. Betapa indahnya melihat kehidupan Jakarta dari anekdot-anekdot yang diceritakan pada catatan Pram tentang kehidupan rakyat kecil di gang-gang Jakarta yang kumuh dan becek. Betapa romantisnya bayangan di dalam kepala membayangkan kisah revolusi Perancis dengan membaca ‘The Tale of Two Cities’ atau membaca ketersingkiran kaum tertinggal terhadap gemuruh kapitalisme yang berselingkuh dengan kekuasaan lewat buku ‘Laskar Pelangi’ karya Andrea Hirata.

Sjahrir adalah manusia Sosialis yang kemudian memenangkan revolusi kemerdekaannya. Era 1945-1949 adalah era Sjahrir bukan kelompok Sosialis Garis Keras seperti Tan Malaka atau Musso. Disini Sukarno memilih Sjahrir karena pertimbangan praktis saja. Sukarno membutuhkan diplomasi Amerika Serikat melalui Sjahrir untuk menekan Belanda walaupun bayarannya teramat mahal. Peristiwa Madiun 1948.

Sjahrir yang seluruh energinya memperjuangkan perlawanan anti fasisme, ironisnya beliau meninggal ketika sebuah era Fasisme di Indonesia mendapat fajar baru. Apakah ini pertanda? Apakah ini merupakan isyarat? Kematian intelektual besar yang sangat membenci fasisme dimana tahun kematiannya menjadi era dimulainya fasisme ala anak tangsi PETA menghujam Indonesia. Suharto menjadikan Indonesia ladang percobaan neo fasisme dengan menerapkan sistem feodalisme yang rumit dan dengan ini mencoba memodernisir Indonesia. Dan hasilnya adalah sebuah kegagalan besar!.

Dan ironisnya lagi Mochtar Lubis, wartawan yang dekat dengan kultur Sjahrir begitu memuja Suharto sampai peristiwa pembakaran Pasar Senen, Malari 1974. Adalah irasionalitas ala Jawa dan kharismatis feodal yang tidak begitu dipahami oleh Mochtar Lubis terhadap figur Sukarno yang menjadikan dia begitu membenci Sukarno, setidak-tidaknya lewat tulisan-tulisannya terutama di Tajuk-Tajuk Harian Indonesia Raya.

Namun walaupun Mochtar Lubis dalam tajuk ini banyak mengucapkan pujian pada Suharto dan melemparkan sesuatu yang buruk pada Sukarno, tulisan Mochtar Lubis bisa dijadikan rujukan penting tentang bermulanya korupsi-korupsi dalam skala raksasa terjadi di Indonesia.

Membaca tulisan Mochtar Lubis sesungguhnya seperti membaca sebuah kisah dimana seseorang manusia seperti Suharto menganggap dirinya mampu memberi makan rakyat dengan hanya mengandalkan konsep represif yang tingkat kekejiannya melampaui penjajah dan tragisnya konsep itu kemudian menjadi alat paling efektif dalam membodohi manusia Indonesia. Kesadaran Orde Baru adalah kesadaran semu tentang kepemilikan kapital yang sifatnya melawan arus terhadap kesadaran kemerdekaan sesuai dengan visi para founding fathers. Orde Baru tidak lebih daripada konsepsi dari Colijn (Menteri urusan Jajahan yang terkenal keras terhadap kaum pergerakan) yang diperbaharui – Orde Baru adalah pengejewantahan Colijnisme yang sedikit banyak bercampur dengan pengaruh Mussert (Tokoh Belanda yang pro Nazi dan fasis). Namun sayangnya konsepsi murahan Orde Baru kini mulai pelan-pelan menjadi bahan rujukan kembali untuk membangun bangsa ini setelah melihat demokrasi yang gagap ala pemerintahan Reformasi 1999. Maka untuk melihat akar-akar kesalahan Orde Baru justru lewat buku kumpulan tulisan Mochtar Lubis sesungguhnya kita bisa melihat bagaimana Orde Baru yang awalnya adalah Monsterverbond (persekutuan jahat) dalam menjatuhkan Sukarno kemudian menjadi sebuah pemerintahan yang amat totaliter dan korup. Kita dapat membaca akar kesalahan Orde Baru justru dari penulis yang memang mendukung sepenuh hati terhadap Orde Baru, Mochtar Lubis...Di awal mulanya.

Hampir seluruh sejarawan sepakat (baik yang netral, aliran kiri dan pro Orde Baru) awal mula perseteruan Indonesia dengan kekuatan barat adalah munculnya kemauan Sukarno yang keras untuk menjadikan Indonesia independen. Sesuai dengan sifat Sukarno yang cenderung memanfaatkan percaturan politik Internasional di jaman Jepang, Sukarno dengan cerdik memanfaatkan kekuatan militer Jepang untuk memegang jabatan paling penting bagi pribumi. Masuknya Sukarno ke dalam struktur kekuasaan militer Jepang ini tentunya menghalangi ruang gerak kaum Komunis yang lolos dari penangkapan besar-besaran 1927 dan menguasai pucuk pimpinan bukan dari unsur birokrasi kolot juga bukan golongan agama, yang pada jaman Jepang cenderung mendapat angin (berdirinya Masyumi pada masa Jepang untuk menjinakkan kaum muslim radikal dan ini sangat berhasil kecuali gerakan-gerakan tarekat yang melakukan perlawanan sporadis). Setelah kekalahan Jepang, Sukarno dengan cerdik membuka jalan untuk kelompok Sjahrir masuk. Geng Sjahrir-Hatta memiliki jaringan kepercayaan ke negara-negara barat hal inilah yang ditolak Tan Malaka dengan menghendaki kemerdekaan 100% dan bekerjasama dengan militer PETA namun pada tahun 1949 kekuatan unsur PETA sepenuhnya berhasil dijinakkan kelompok KNIL dibawah Nasution-Simatupang dimana kebijakan politiknya sepenuhnya mendukung kelompok realistis (Hatta dan lingkaran Sjahrir). Bahkan akhir babak dari perang kemerdekaan yang heroik itu adalah antiklimaks dengan terbunuhnya Tan Malaka. Matinya Tan Malaka dan hancurnya kesepakatan kaum kiri di Madiun dalam kerangka Front Demokrasi Rakyat. Tanpa sengaja kematian Tan Malaka merupakan belokan amat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tan Malaka-lah yang pada mulanya mengucapkan sebuah konsepsi politik yang pada saat itu dipegang penuh oleh para perwira militer dari kubu PETA. Merdeka 100%. Pemikiran Tan Malaka ini bukan saja merupakan pemikiran yang serta merta tumbuh dalam gejolak kemerdekaan, tapi pemikiran ini adalah buah hasil cucuran keringatnya bermandi peluh di perpustakaan nasional dan renungannya di sebuah gang becek di Cililitan sana. Memang dalam pemikiran Tan Malaka yang tertuang dalam Madilog pemikirannya mengarah pada sebuah paham yang dianggapnya universal, namun Tan Malaka mampu melihat gejala jaman, dan penglihatan Tan Malaka ini jauh lebih dulu dibandingkan Sukarno. Syahdan di suatu pagi, beberapa orang menemui Jenderal Sudirman di kota Yogyakarta, orang-orang ini adalah anak muda yang terpengaruh paham Tan Malaka dan banyak bergerak di kota Jakarta. Beberapa hari sebelumnya mereka berangkat dari Jakarta yang sudah dikuasai NICA. Sudirman sendiri baru datang dari Yogya setelah mengunjungi beberapa wilayah di sekitar Jawa Tengah. Sudirman tertarik dengan gagasan Tan Malaka, baginya “Perang harus diselesaikan sampai ke akar-akarnya’ namun apa daya, Sudirman ini hanyalah seorang guru SD yang tingkat intelektualitasnya jauh di bawah jago-jago militer lulusan Akmil Breda Bandung macam AH Nasution atau TB Simatupang. Dan Sudirman bukan jenis orang yang mau menang sendiri, ia pendengar...ia merasakan. Sementara di lingkungan dalam Istana, Nasution dan Simatupang dengan intens mengeluarkan gagasan untuk memperpendek perang, mengajukan sebuah tawaran damai dengan Belanda lewat fasilitas Amerika Serikat dan memanfaatkan situasi perang dingin, dimana kelompok Nasution paham bahwa AS akan sangat marah bila Moskow buka cabang di Jawa. Di sinilah Sudirman menemui dilema, sementara Tan Malaka menghadapi dilemanya sendiri, ia pertama-tama sudah gagal menduduki kursi utama RI, karena memang Sukarno lebih dipercaya rakyat, dan jadi selebritis utama sejak Jepang menduduki Indonesia. Kedua, Tan Malaka merasa ditelikung oleh Sutan Sjahrir tokoh yang pernah ingin dipengaruhinya untuk merebut kekuasaan Sukarno, namun yang terjadi Sjahrir malah membuat ‘kudeta sunyi’ dengan membentuk pos ‘Perdana Menteri’ dari sebuah sistem konstitusional yang tidak mengenal istilah Perdana Menteri. Disini Tan Malaka menemukan titik frustrasinya. Akhirnya sebuah kesepakatan bersama lahir di Den Haag tahun 1949, dengan bayaran diam-diam dibunuhnya Tan Malaka, di sebuah desa di daerah Kediri, Jawa Timur....

Kematian Tan Malaka kelak menjadi sebuah perlambatan sejarah, karena kesadaran kemerdekaan Indonesia 100% baru dimulai tahun 1960 tatkala Sukarno dengan gemilang menemukan sebuah idee revolusinya, yang kemudian juga dihancurkan oleh sebuah konspirasi paling rumit pada abad ini, Konspirasi Gerakan Untung 1965.

Sejarah selalu mengenalkan orang-orang kalah, di sanalah berdiri seuntai cerita tentang manusia yang berdiri pada pojok sejarah. Apakah sejarah selalu seperti cerita kembang melati Aryo Penangsang, sebagai perayaan khusus kemenangan Danang Sutowidjojo? Kembang melati yang diuntai pada keris mempelai pria dalam adat Jawa Mataraman, adalah simbol dari pengharapan keberanian seorang lelaki Jawa menghadapi kehidupan, ini disamakan dengan usus Aryo Penangsang yang dibiarkan terburai saat berkelahi dengan Danang Sutowidjojo. Namun, keberanian tidak pernah dipandang sebagai keberanian, keberanian hanyalah soal bagaimana kita memandang sesuatu dari pengalaman psikologis seseorang, masyarakat bahkan bentukan sejarah. Orang-orang Blora tidak pernah mau menggunakan adat melati yang diuntai pada pinggir keris, ini sama artinya penghinaan pada Aryo Penangsang, bagi mereka itu adalah adat Jawa Mataraman, sebuah kekuasaan yang telah menghancurkan kelanggengan sebuah trah, sebuah dinasti. Keberanian adalah sebuah persepsi? Lalu dimana sejarah diletakkan pada persepsinya?

Sahibul Hikayat, tak lama setelah kejadian Prambanan dan pemberontakan PKI di beberapa tempat tahun 1926/27 terhadap pemerintahan kolonial, beribu-ribu orang ditangkap, diantaranya dibuang ke Digoel. Salah seorang yang dibuang ke Digoel adalah Kyai Dasuki. Kyai ini kyai sakti dari Solo dan namanya sudah sangat terkenal. Dia pulang dari Digoel dengan gagah, tak lama kemudian Jepang masuk. Saat dalam perjalanan pulang dari Surabaya ke Semarang, ia menumpang kereta api. Kebetulan di tengah jalan saat kereta itu berangkat ada bisik-bisik bahwa di sebuah pos akan dilakukan pemeriksaan militer yang dilakukan oleh Kempetai. Sudah jamak kiranya pemeriksaan itu diiringi dengan perampasan barang berharga. Kyai Dasuki menyuruh orang-orang menaruh tas, koper, peti dan barang bawaan berharga ini untuk ditaruh di atas bangku dan ditumpuk, ia lalu duduk diatasnya. Dengan kesaktian yang ia miliki Kyai Dasuki menghilangkan penglihatan atas barang-barang itu. Itulah cerita legenda yang banyak diceritakan orang-orang tua jaman dulu. Kyai Dasuki adalah seorang yang baik, berjiwa sosial, dan senang mengajari ngaji. Namun pilihan politiknya adalah Komunis. Ia mempunyai anak kandung lelaki yang sangat pintar, kita mengenalnya sebagai Profesor Baiquni, ahli atom Indonesia yang namanya sangat sohor di kalangan ilmuwan internasional tapi diluar itu (saya membaca di majalah Tempo) Kyai inilah yang menikahkan Aidit dengan dokter Soetanti. Setelah geger Gestapu 1965, Kyai Dasuki menghilang....seorang baik telah hilang, dilenyapkan oleh sebuah rezim yang kelak membangkrutkan Indonesia...

Een Toch Sejarah tidak akan berhenti, seperti ucapan Bung Karno ketika dia mengunjungi museum di Mexico City. Si Bung Bercerita “Disana ada tulisan ...Sekarang kita telah meninggalkan gedung museum, gedung yang berisi cerita sejarah...namun kita tidak akan pernah meninggalkan sejarah, karena sejarah akan terus bergerak selama kehidupan ada di muka bumi” ya sejarah akan terus bergerak dan mempunyai cerita-cerita baru.

ANTON

Senin, 24 September 2012

Rohis Kader "Teroris"?


Oleh: Muhammad Hidayat 

BEBERAPA waktu yang lalu ummat Islam dibuat geram dengan pemberitaan salah satu televisi nasional, Metro TV tentang pola rekrutmen “teroris” muda.

Sebagaimana diketahui, 5 September 2012, Metro TV mengadakan dialog di program Metro Hari Ini bersama narasumber Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta Profesor Bambang Pranowo, mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono dan pengamat terorisme Taufik Andri.

Dalam dialog tersebut Profesor Bambang Pranowo menyampaikan hasil penelitiannya bahwa ada lima pola rekrutmen teroris muda. Salah satunya melalui ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Saat dialog berlangsung, ditayangkan pula info grafik berisi poin-poin lima pola rekrutmen versi Profesor Bambang Pranowo.

Dalam dialog itu dijelaskan, bahwa sasaran “teroris”  adalah siswa SMP akhir – SMA dari sekolah-sekolah umum, mereka juga masuk melalui program ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Siswa-siswi yang terlihat tertarik kemudian diajak diskusi diluar sekolah dan mereka dijejali berbagai kondisi sosial yang buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang. Yang tidak kalah penting, katanya,  mereka didoktrin bahwa penguasa adalah thogut/kafir/musuh.

Berbagai protes-pun bermunculan, khususnya dari para aktivis yang memang terlibat langsung sebagai ADS-ADK (Aktivis Dakwah Sekolah – Aktivis Dakwah Kampus), baik melalui akun resmi media tersebut di internet, ataupun melayangkan laporan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Hal ini dikarenakan beberapa poin tersebut cenderung diarahkan pada salah satu kegiatan ekstrakurikuler resmi di sekolah, yakni Kerohanian Islam (Rohis), yang faktanya apa yang disampaikan melalui media liberal-sekuler tersebut sangat jauh dari data yang valid dan sah, singkatnya hal tersebut ialah fitnah belaka. Jadi secara tidak langsung, media tersebut telah men-“cap” Rohis (serta kegiatan dakwah pada umumnya) sebagai sarang kader “teroris” baru.

Meskipun pada akhirnya pihak MetroTV mengklarifikasi pemberitaan tersebut dengan berdalih bahwa itu adalah hasil penelitian seorang guru besar UIN dan terkesan “berlepas tangan” dari penayangannya, namun apa yang telah tersiarkan secara luas dan disaksikan jutaan mata tetaplah menimbulkan kegeraman ditengah masyarakat, khususnya pada ADS-ADK. Dan pun, pihak redaksi menolak mengakui bahwa MetroTV dan atau narasumber telah mengatakan Rohis sebagai sarang teroris, walaupun kita semua telah mendapati fakta melalui screenshot yang berhasil diambil salah satu penonton bahwa pernyataan tersebut memang telah tersampaikan.

“Metro TV kembali ingin menegaskan bahwa tidak benar jika dikatakan telah menyebutkan Rohis sebagai sarang teroris. Ketiga narasumber yang hadir juga tidak pernah menyebutkan bahwa Rohis adalah sarang teroris dalam dialog tersebut.” (http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/09/15/106152/Penjelasan-Metro-TV-Atas-Program-Metro-Hari-Ini-Edisi-5-September-2012/6)

Lalu, benarkah Rohis dijadikan kader teroris?

Sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an dan rukun iman lainnya, sangatlah wajar jika kita menolak mentah-mentah pernyataan tersebut, terlepas dari siapapun yang menyampaikan. Mengingat hal tersebut memang jauh dari fakta dilapangan dan apa yang kami saksikan sendiri.

Kalau kita searching kata “Rohis” di Wikipedia, kita akan mendapati pengertian Rohis sebagai berikut:

“Rohis berasal dari kata "Rohani" dan "Islam", yang berarti sebuah lembaga untuk memperkuat keislaman. Rohis biasanya dikemas dalam bentuk ekstrakurikuler (ekskul). Padahal fungsi Rohis yang sebenarnya adalah forum, mentoring, dakwah, dan berbagi. Susunan dalam rohis layaknya OSIS, di dalamnya terdapat ketua, wakil, bendahara, sekretaris, dan divisi-divisi yang bertugas pada bagiannya masing-masing.

Rohis umumnya memiliki kegiatan yang terpisah antara anggota pria dan wanita hal ini dikarenakan perbedaan muhrim di antara anggota. kebersamaan dapat juga terjalin antar anggota dengan rapat kegiatan serta kegiatan-kegiatan di luar ruangan. utama rohis mendidik siswa menjadi lebih islami dan mnegenal dengan baik dunia keislaman, dalam pelaksanaannya anggota rohis memiliki kelebihan dalam penyampaian dakwah dan cara mengenal Allah lebih dekat melalui alam dengan tadzabur alam, hal itu karena dalam kegiatannya rohis juga mengajarkan hal tersebut. Rohis selalu mendekatkan anggotanya kepada Allah SWT, dan menjauhkan anggotanya dari terorisme, kesesatan, dsb.”

Dari makna di atas, sangat jelas bahwa apa yang dituduhkan sangat jauh dari realita yang ada.

Dalam sebuah kesempatan, Drs H Mawardi AS –Ketua MUI Lampung- juga telah membantah pemberitaan diatas.

"Bagaimana mungkin, organisasi yang memiliki peran besar dalam menyelamatkan pemuda agar memiliki pribadi yang berkarakter, justru dinyatakan sebagai tempat pembentukan teroris," (Republika.co.id. 15/09/2012)

Rohis dan Remaja Masjid “Di Lapangan”

Sebagai pihak yang pernah dan sedang terjun langsung dalam membina pelajar SMA/se-derajat di kota Pekanbaru, Riau, maka perlu kami sampaikan bahwa kegiatan-kegiatan dakwah remaja disini –dan dimanapun berada dalam pengetahuan kami- ialah jauh dari unsur-unsur yang mengarah pada kekerasan, terorisme, apalagi ajaran sesat. Dalam ruang lingkup harian, pekanan, bulanan hingga tahunan, program kegiatan sudah disusun secara terstruktur, ditandatangani oleh Pembina sebagai penanggung-jawab.

Kegiatan yang dijalankan-pun beragam, yang kesemuanya tidak satupun mengarah pada terorisme, melainkan sebagai sarana untuk mengembangkan diri, berkreativitas dan mendalami ajaran Islam serta memunculkan akhlakul karimah kepada sesama manusia. Sebut saja, sholat Dhuha bersama-sama saat istirahat, melaksanakan kultum selepas sholat Zhuhur dan ‘Ashar, olahraga saat Ahad pagi, mendiskusikan tugas setelah pulang sekolah, melaksanakan camping/lintas alam, memperbaiki (tahsin) bacaan Quran, hingga melatih segenap anggota agar mahir dalam menggunakan internet. Dan kegiatan ini-pun atas persetujuan dari orangtua melalui surat izin resmi yang ditandatangani, serta selalu dipublikasikan dalam bentuk foto dan video, serta pemberitaan di Koran lokal, hingga media sosial seperti Facebook, Twitter dan website resmi.

Maka sangatlah naïf jika dikatakan berbagai kegiatan diatas justru mengarah pada terorisme, ekstrimisme dan sejenisnya. Bahkan, Alhamdulillah kegiatan dakwah remaja di Pekanbaru juga pernah dimuat di hidayatullah.com (http://hidayatullah.com/read/23067/09/06/2012/dekatkan-pelajar-ke-masjid-melalui-komunitas-belajar.html)

Apa yang pernah dan sedang kami lakukan disini, juga merupakan cerminan dari apa yang dilakukan oleh berbagai aktivis dakwah sekolah dan kampus dimana-pun berada, karena semua ADS/ADK tersebut mengarahkan anggotanya pada tujuan yang sama, yakni mentauhidkan Allah serta beribadah hanya kepada-Nya.

Kami sempat mewawancarai beberapa orang untuk meminta pandangan mereka seputar Rohis dan pemberitaan media tersebut.

“Rohis ialah wadah bagi pemuda Islam untuk mendekatkan diri pada ajaran Islm dalam rangka membentengi pergaulan bebas di SMA.” (Ade Nafiarman, alumni salah satu SMA yang kini bekerja di salah satu BUMN)

“Itu salah kaprah, sebenarnya bukan seperti itu. Rohis memang mengajar kita lebih dalam tentang agama. Soal perekrutan anggota (teroris)seperti itu tidak bisa menyalahkan Rohis..” ujar Hafizh, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Pekanbaru yang pernah ikut bergabung di Rohis saat SMA.

Sementara itu, Bapak Feizal Karim, M.Eng –salah seorang staff Gubernur Riau- mengungkapkan bahwa justru Rohis di sekolah harus diperkuat, jangan sampai “mati”.

“Justru Rohis harus diperkuat, jangan sampai mati, bukan Rohis yang salah. Jangan sampai (dengan pemberitaan ini) memperlemah anak-anak untuk ke Masjid atau bergabung di Rohis. Mestinya media tersebut harus bisa memilah, tidak patut menyampaikan seperti itu”. Tanggapan beliau saat kami hubungi via telpon.

Realitas Remaja Saat Ini

Dalam sebuah kesempatan bersama adik-adik anggota, kami pernah menyampaikan bahwa semua yang terdaftar sebagai anggota ialah orang-orang yang sedikit jika dibandingkan dengan total semua pelajar di kota ini. “Adik-adik hanyalah satu dari puluhan, puluhan dari ratusan, dan ratusan dari ribuan.”.

Lalu kemana adik-adik SMA/se-derajat lainnya? Banyak dari mereka yang kita jumpai di warnet-warnet, tempat permainan biliyard, kafe-kafe, nongkrong dan nge-trek di jalanan sambil merokok, serta berbagai aktivitas sia-sia lainnya. Pemandangan ini akan sangat ramai kita temukan saat malam mingguan tiba. Di salah satu taman kota disini bahkan sering dijumpai pasangan remaja yang “mojok” alias berzina di gelapnya malam, semoga Allah menjaga kita dari perilaku seperti ini. Sementara itu di sisi lain, alhamdulillah berkat kegiatan-kegiatan Islam yang diadakan secara rutin tidak ada remaja-remaja masjid atau rohis yang terlibat dalam aktivitas semacam ini. Alangkah baiknya apabila kalangan remaja bisa mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah sebagai pelanjut estafet kepemimpinan di masa mendatang. Kalau remaja di masa sekarang hancur akhlaq-nya, maka apa jadinya negara kita ini bila mereka memimpin di masa mendatang?

Tentu sebagai sesama generasi muda Islam, kita sangat sedih melihat realita diatas dan berharap ada perbaikan untuk masa yang akan datang. Dan memperbaiki generasi muda inilah yang sedang dilakukan oleh banyak pihak yang peduli akan nasib bangsa ini, termasuk diantaranya ialah saudara-saudara di Rohis.

Maka, melalui artikel singkat ini kami menghimbau kepada khalayak ramai, khususnya para orangtua dan pemerintah agar justru memasukkan anak-anak mereka dan remaja pada umumnya ke Rohis atau remaja masjid, bukan membiarkannya melakukan aktivitas sia-sia dan bahkan menimbulkan mudhorat dan dosa, dan tentunya dengan tetap melakukan kontrol atas segala kegiatannya di luar rumah. Dan kepada media dan narasumber terkait agar lebih faktual dalam menyajikan berita dan data, berdasarkan fakta yang ada dan telah di-cek kebenarannya di lapangan, serta harus meminta maaf kepada semua pihak yang pernah mereka zholimi. Kemudian untuk saudara-saudara kami yang tengah bergerak dalam dakwah remaja, agar tetap semangat dalam mendidik dan membina adik-adik kami para generasi penerus bangsa ini, semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada kita semua, aamiin. Allahu Akbar! Wallahu a’lam bishshowab.

Penulis adalah penyiar Radio Robbani FM Pekanbaru, Aktivis Dakwah Remaja di Pekanbaru, Riau

Jumat, 21 September 2012

Rahasia di balik suksesnya kampanye politik



1. Brand building
Menciptakan identitas atau image dari politisi merupakan unsur yang sangat penting dari kampanye politik dimana image ini nantinnya akan membuat dia lebih "terlihat" atau lebih diperhatikan di publik. Munculnya sosial media juga membawa perubahan bagi para politisi tentang bagaimana harus berkomunikasi dengan publik. Untuk mengambil hati dan pikiran masyarakat/voters, setiap politisi harus mengadopsi pendekatan yang lebih personal. Dimana cara berkomunikasi yang digunakan adalah komunikasi yang menyoroti kondisi masyarakat dan komunikasi yang bertujuan untuk mengembangkan personal image yang menarik bagi masyarakat.
2. Komunikasi internal
Komunikasi yang baik dalam partai adalah faktor yang penting yang bisa mempengaruhi jumlah suara pemilu. Komunikasi yang buruk antar anggota partai dapat membahayakan kredibilitas partai dan menyebabkan penurunan kepercayaan public terhadap partai tersebut.
3. Message management
Pesan kampanye harus berkaitan dengan harapan rakyat untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Contohnya : Obama dengan slogan "Yes We Can" dan poster kampanye yang memiliki unsur gagasan perdamaian berhubungan dengan pemilih membutuhkan perubahan.Pesan dari kampanye nya juga dirancang untuk menarik hati para pemilih yang masih tidak tahu akan memilih siapa, untuk memilih Obama sehingga bisa menambah jumlah suara Obama.
4. Community engagement
Yang istimewa dan luar biasa dari kampanye Obama adalah penggunaan sosial media. Sosial media platform yang digunakan tidak hanya untuk mengkomunikasikan pesan, tapi untuk menghubungkan para voters satu sama lain sehingga bisa membantu mereka mengorganisir saat diadakan aksi lokal di dalam suatu komunitas – komunitas yang ada.
5. Information and media management
Ini adalah tugas para profesional PR untuk memastikan bahwa informasi yang ada sudah sesuai dengan pesan kampanye partai. Tapi di media era sekarang, sulit rasanya untuk mengendalikan pesan, tetapi di sisi lain teknologi yang ada sekarang membuat kita semakin mudah untuk tetap terhubung dengan komunitas online para praktisi PR sehingga dapat memberikan kekuatan untuk membangun hubungan yang solid dengan para voters dan tentunya dapat terhubung langsung dengan voters pada tingkat yang lebih personal
sumber : http://prtips2011.blogspot.com

Jokowi Basuki



Bung Karno Dan Negara Res Publica


Pada tahun 1956, pertarungan politik dan gagasan di Indonesia mengarah kepada satu kesimpulan: demokrasi liberal harus segera diakhiri. Bung Karno, yang sejak awal menyatakan ketidaksukaannya terhadap model demokrasi ini, semakin menegaskan sikapnya dalam sebuah pidato di hadapan Majelis Konstituante.
Kepada para calon pembuat konstitusi baru itu, Bung Karno telah menganjurkan agar konstitusi baru disusun berdasarkan realitas yang hidup di Indonesia. “Jangan meniru atau menyadur konstitusi orang lain,” kata Bung Karno. Ia menyerukan agar Konstituante membuat konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
>>>
Di tengah-tengah pidato itu, Bung Karno mengajak anggota Konstituante merenungkan arti kata Republik. Pasalnya, banyak yang memahami republik dari bentuk luarnya saja, tetapi belum memahami isinya.
Istilah “Republik”, kata Bung Karno, berasal dari kata “Res Publica”, yang berarti kepentingan umum. Ia merupakan negasi dari bentuk negara yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan satu individu ataupun kepentingan satu klas.
Sekalipun banyak negara yang menganut sistim republik, kata Soekarno, tetapi mereka tidak konsisten menerapkan makna “kepentingan umum” itu. Lagi-lagi Bung Karno merujuk ke eropa. Di sana, katanya, mereka ber-res-publica hanya di lapangan politik saja, tetapi tidak melakukannya di lapangan ekonomi.
“Kekuasaan ekonomi tidak mau  mereka akui sebagai hak bersama. Jangankan di dalam praktek, di dalam teori pun tidak,” kata Bung Karno.
Demikian pula dengan lapangan sosial dan budaya, terkadang res-publica juga tidak menyentuh wilayah ini. Sehingga pintu kehidupan sosial dan kebudayaan sering terutup bagi mereka yang tidak berkuasa.
Tetapi gagasan Republiken ala Bung Karno jelas berbeda dengan gagasan Republiken yang diadopsi oleh sebuah Partai Sarekat Rakyat Independen (SRI). Rocky Gerung, seorang ideolog partai SRI, mengidentifikasi republikanisme sebagai pengaktifan warga negara dalam kehidupan politik, dimana warga negara bukan penerima pasif. Ide republikanisme ala SRI adalah mirip dengan res-publica yang dikritik habis-habisan oleh Bung Karno, yaitu res publica yang hanya diselenggarakan di lapangan politik.
Melihat uraian Bung Karno itu, kita melihat adanya konsistensi dalam teori-teori dan keinginan-keinginan politiknya: ketika menyampaikan pidato 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila), Soekarno dengan tegas mengatakan Indonesia merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Dan melalui pidato itu, Bung Karno kembali menegaskan bahwa Indonesia merdeka bukanlah negara untuk satu golongan, bukan pula negara borjuis, melainkan sebuah negara yang dimiliki seluruh rakyat. “Maka res-publica pun dijalankan di semua lapangan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya”. “Harus menjadi republiken 100%,” begitu kata Bung Karno.
Sayang sekali, Konstituante gagal menghasilkan konstitusi baru.
Akhirnya, pada 22 April 1959, melalui pidato berjudul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”, Soekarno telah mengajak untuk kembali ke UUD 1945. Lalu pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit. Maka bubarlah Konstituante itu dan bangsa Indonesia pun kembali ke UUD 1945.
>>>
Tetapi, untuk mencapai cita-cita res-publica yang dimimpikan Soekarno, ia perlu faktor pendukung: lingkungan politik yang stabil, persatuan nasional yang kuat, dan semangat rakyat yang berjuang.
Tetapi demokrasi liberal telah menjadi halangan untuk itu. Pertama, demokrasi parlementer menyebabkan pemerintahan tidak stabil, sehingga pemerintahan tidak bisa bekerja secara maksimal.
Sejak penerapan demokrasi parlementer, terhitung ada tujuh kali pergantian kabinet: Natsir (1950-1951), Sukiman, 10 bulan (April 1951-Februari 1952), Wilopo 14 bulan (April 1952-Juni 1953), Ali Sastroamidjojo 24 bulan (Juli 1953-Juli 1955), Burhanuddin Harahap 7 bulan (Agustus 1955-Maret 1956), lalu kembali Ali Sastroamidjojo 12 bulan (Maret 1956-Maret 1957).
Kedua, demokrasi parlementer membawa bangsa Indonesia yang masih muda ke dalam sebuah krisis; friksi antar partai politik, saling jegal antar golongan politik, menurunnya semangat juang, dan lain sebagainya.
Hal itu, dalam bayangan Bung Karno, sangat terang melemahkan persatuan nasional. Padahal, di satu sisi, masih ada tugas nasional yang belum selesai, yaitu menghancurkan sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme.
Ketiga, Demokrasi itu juga dianggap oleh Bung Karno telah meracuni rakyat: munculnya ego-sentrisme. Ego-sentrisme telah memicu gerakan separatism di daerah, baik yang bersifat kedaerahan maupun keagamaan.
Bagi sebagian pengamat politik, seperti Ignas Kleden, pengalaman demokrasi parlementer memberikan pencapaian positif: perdebatan yang tekun dan bermutu tinggi telah membuka jalan ke arah konstitusionalisme, sebagai suatu cita-cita yang hendak dijadikan tradisi dalam masyarakat baru.
Bung Karno sangat tegas menolak demokrasi liberal ataupun ‘diktatur’.
Demokrasi liberal, seperti berulang-ulang dikatakannya, hanya mengejar persamaan di lapangan politik, tetapi mengabaikan persamaan sosial atau ekonomi.
“Seperti juga dalam perdagangan, jika kesempatan yang sama itu tidak dibarengi dengan kemampuan yang sama, maka golongan yang lemah akan tertindas oleh golongan yang kuat,” ujarnya Soekarno, seraya menyakinkan anggota konstituante.
Oleh karena itu, muncul ide Soekarno untuk mendesakkan sebuah tipe demokrasi yang terbimbing atau terpimpin, yakni sebuah demokrasi mencegah terjadinya eksploitasi oleh si kuat terhadap si lemah.
Tetapi perlu dicatat, terkait penerapan model demokrasi terpimpin itu, Soekarno menggaris-bawahi bahwa hal itu hanya dilakukan dalam masa transisi. Transisi yang dimaksud adalah peralihan dari alam kolonialisme ke nasional; peralihan dari perbudakan ke alam kemerdekaan politis-ekonomis.
Periode transisi sendiri akan berakhir pada satu titik: saat dimana emansipasi ekonomi dan sosial sudah merata.
Tetapi, dimata banyak pengamat politik, demokrasi terpimpin dianggap menciptakan benih otoritarianisme; ada pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi, ada pula pelarangan terhadap karya-karya seniman yang tak sejalan dengan pemerintah, ada pembredelan sejumlah surat kabar.
Tetapi, perlu dicatat di sini, bahwa “pelarangan” tidak berarti penghancuran secara fisik terhadap partai atau kegiatan politik dimaksud. Kita jangan membayangkan “pelarangan” di sini seperti ketika Soeharto melarang PKI dan ajarannya. Soe Hok Gie, yang aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis—dekat dengan PSI, masih beraktivitas dan aktif berhubungan dengan orang-orang PSI.
Soekarno sendiri menolak menjadi diktatur, sekalipun kesempatan itu berkali-kali datang kepadanya. Pada tanggal 17 Oktober 1952, misalnya, ketika militer melancarkan kudeta dan memintanya membubarkan parlemen, Soekarno menjawab, “Bapak tidak mau berbuat dan dikatakan sebagai diktator.”
*) Staff Redaksi Berdikari Online dan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Rabu, 19 September 2012

Rohis se-Bandung Raya Desak MetroTV Minta Maaf

Politikindonesia - Tayangan Program “Metro Hari Ini” Edisi 5 September 2012 yang Bertema “Generasi Baru Teroris,” terus saja menuai protes dari sejumlah kalangan karena dianggap mendiskreditkan Rohani Islam (Rohis). Anggota Rohis dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang terdiri dari mahasiswa, guru agama dan pembimbing Rohis se-Bandung Raya melakukan unjuk rasa di depan Gedung sate, Jalan Diponegoro, Bandung, Rabu (19/09). Dalam unjuk rasa tersebut, mereka menuntut agar MetroTV, meminta maaf secara resmi dan terbuka atas pemberitaan yang tidak benar mengenai Rohis. “Meskipun MetroTV mengatakan program ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah merupakan sarana untuk perekrutan teroris muda, namun tak ada lagi kegiatan tersebut selain Rohis,” ujar anggota LDK ITB Angga Usnun Qadafi. Selain itu juga Alumni Rohis se-Bandung Raya juga menuntut agar Metro TV agar menyampai permintaan maaf melalui media nasional baik cetak maupun elektronik. Angga mengatakan tuntutan ketiga mengenai ajakan diskusi publik pun belum dapat dipenuhi hingga kini. Pihaknya telah melayangkan surat pada MetroTV dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Jika tidak ada jawaban hingga 3 hari kedepan, kami akan bawa kasus ini pada Dewan Pers Nasional dan mencap MetroTV sebagai media yang tidak ber-integritas,” ujar dia. Dalam unjuk rasa ini juga alumni rohis memberikan karangan bunga sebagai simbol matinya integritas MetroTV. Padahal Rohis yang telah ada sejak lama banyak mencetak generasi muda yang produktif dan berprestasi demi Jawa Barat. (ss/rin/kap)





Selasa, 18 September 2012

Surya Paloh: Pemikiran Bung Karno Sejalan dengan NasDem


Metrotvnews.com, Bandung: Partai Nasional Demokrat melantik lima Dewan Pimpinan Daerah se-Bandung Raya dan Sumedang, Jawa Barat, Ahad (16/9) petang kemarin. Ini merupakan salah satu langkah strategis NasDem dalam rangka memenangkan Pemilihan Umum 2014 mendatang.

Ketua Majelis Nasional Partai NasDem Surya Paloh hadir dan mengutip pidato Presiden pertama RI, Soekarno atau akrab disapa Bun Karno, berjudul Trisakti. Dalam pidato itu, Bung Karno berpesan agar Indonesia dapat berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.

"Pemikiran-pemikiran besar, konsepsi-konsepsi besar Bung Karno, masih tetap relevan untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia," ucap Surya Paloh.

"Ajaran dan pemikiran Bung Karno, sejalan dengan ideologi NasDem," tambahnya.

Menurut Surya Paloh, Partai NasDem lahir untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Di antaranya adalah lunturnya nilai nasionalisme dan patriotisme.

"Kita ingin mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air, kembalilah ke jati diri, Indonesia yang seutuhnya," ungkap Surya Paloh.

Ketua Umum Partai NasDem Patrice Rio Capella turut hadir dalam acara pelantikan. Ia mengajak seluruh kader NasDem serempak bekerja untuk melakukan perubahan besar pada Pemilu 2014 mendatang. Dalam acara tersebut, salah satu putri Bung Karno, Rachmawati Soekarno Putri, resmi bergabung dengan NasDem.

"Surya Paloh mempunyai visi dan misi yang sama dengan proklamator Bung Karno," tegas Rachmawati. "Saya adalah anak biologis Bung Karno, sedangkan Surya Paloh adalah anak ideologis Bung Karno."(wtr6)